Sabtu, 08 April 2017

TAFSIR IBNU KATISR



TAFSIR IBNU KATISR
Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tadrib Kutub al-Tafsir



 








Oleh:

1.            MUHAMAD KHUSNAN           (E03214010)
2.            ACHMAD ALI MAKKI           (E03214017)
3.            MUHAMAD ILYAS                              (E03214011)



Dosen Pengampu:
Naufal Cholily, M.Th.I


PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


SURABAYA
2016


BAB II
STUDI KITAB TAFSI<R al-QUR’A<N al-‘AZ}I<M
IBNU KATHI<R
A.    Biografi Ibnu Kathi>r
Nama lengkap Ibnu Kathi>r adalah Abu al-Fida>’ Isma’i>l bin Amr bin Kathi>r bin Dhau’ bin Kathi>r bin Zara’ al-Bas}rawiy al-Shafi’y.[1] Ia lahir di dusun Mijdal, termasuk bagian kota Bushra pada tahun 701 H, dan ayahnya adalah seorang pendakwa di kota tersebut.[2] Ayahnya adalah seorang khatib yang wafat pada saat Ibnu Kathir berumur 4 tahun. Ayahnya berguru kepada al-Nawawi dan al-Fazariy. Saudaranya, Syaikh Abdul Wahha>b, juga belajar Fiqh darinya pada permualan pengenalannya terhadap khazanah keilmuan.[3]
Pada tahun 706 H, Ibn Kathir pindah ke kota Damaskus saat berusia 5 tahun. Ia memperdalam Fikh kepada Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al Farazi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Farhah. Ia juga banyak belajar kepada Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazyi, pemilik kitab  Tahzdib al-Tahdzib yang wafat pada tahun 724 H. Ia menikahi putri Jamaluddin Yusuf. Selain itu, ia juga belajar kepada ahli sejarah al-Hafiz Syamsuddin al-Zahabi Muhammad bin Ahmad bin Qaimaz, dan juga diberi ijazah ketika di Mesir yang diberikan kepada Ibnu Kathir oleh Abu Musa al-Qarafi, al-Husaini, Abu al-Fath Al-Dabusi, Ali bin Umar al-Wan, Yusuf Khatni dan lain-lainnya.[4]
Kedudukan Akademik Ibnu Kathir
Ibnu Kathir adalah salah seorang ulama yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam ilmu. Para ulama mengakui tingginya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Kathir. Ia menguasai banyak bidang ilmu, terutama dalam bidang Hadith, Fikih, dan Sejarah. Imam al-Dzahabiy berkata di dalam al-mu’jam al-mukhtas}: “Ibnu Kathir adalah imam yang manjadi mufti, ahli Hadith yang unggul, ahli Fikih yang mengusai banyak bidang ilmu, muhaddith yang mutqin, mufassir yang ahli, dan mempunyai banyak karangan.”[5]
Selain perktaan al-Dzahabiy, terdapat banyak ulama-ulama lain yang mengomentari tingginya ilmu yang dimiliki Ibnu Kathir, seperti Ibnu Hubaib.[6] Ibnu Kathir memang benar-benar mufassir sangat ahli dalam bidang ilmu yang bermacam-macam. Kealiman Ibnu Kathir diamini oleh ulama-ulama lainnya, sehingga kitab Tafsirnya yang berjumlah empat jilid ini berada di tingkat kedua kitab Tafsir bi al-ma’thur yang terbaik setelah kitab Tafsir karangan Ibnu Jarir al-Thabariy.
Guru-guru dan Murid-muridnya
Ibnu Kathir adalah seorang mufassir yang mempunyai ghirah tinggi dalam mencari ilmu. Ia tidak hanya mencari ilmu di tempat kelahirannya saja, tetapi ia mengelilingi beberapa negeri sebagai tempat singgah untuk mencari ilmu. Dari beberapa tempat yang disinggahi untuk mencari ilmu, ia mempunyai beberapa guru yang jumlahnya tercatat tiga puluh orang, seperti Ibnu Taimiyyah, Abu> al-Hajja>j Yu>suf al-Maziy, imam al-Dzahabiy, dan lain-lain.[7]
Ibnu Kathir juga mempunyai murid-murid yang mengambil ilmu darinya. Murid-muridnya berasal dari tempat tinggal yang berbeda-beda. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Khadr al-Shafi’iy, putranya Muhammad bin Ismail bin Kathir, Abu al-Mahasin al-Husainiy, dan lain-lainnya. Ada tujuh murid yang tercatat belajar darinya.[8]


Karangan-karangan
Ibnu Kathir adalah seorang mufassir yang sangat produktif dalam membuat karangan-karangan ilmiah yang sangat berguna bagi intelektual Islam. Ia tidak hanya mengarang kitab dalam satu bidang saja, tetapi ia mengarang kitab-kitab dalam banyak bidang ilmu, terutama dalam bidang ilmu yang sangat dikuasainya, yaitu bidang Tafsir, Hadith, Fikih, dan Sejarah.
Dalam bidang Ulu>m al-Qur’a>n dan ilmunya, Ibnu Kathir mengarang dua kitab yang sangat terkenal, yaitu Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m yang akan dikaji di makalah ini dan kitab Fadha>il al-Qur’a>n. Dalam bidang Hadith dan ilmunya, ia mengarang kitab yang berjumlah enam belas kitab. Di antaranya adalah kitab Sharhu S}ahi>h al-Bukha>riy, Ikhtis}}a>r Ulu>m al-hadith, Ja>mi’ al-Masa>ni>d wa al-Sunan al-Ha>diy li aqwam al-Sunan, dan lain sebagainya.[9]
Dalam bidang Fikih dan Ushu>l al-Fiqh, Ibnu mengarang kitab yang berkaitan dengan dua bidang ilmu ini sebanyak tuhuh kitab. Di antaranya adalah kitab al-Ahka>m al-Kubra>, Kita>b al-S{iya>m, Ahka>m al-Tanbi>h, dan lain sebagainya.[10] Dalam bidang Sejarah, ia juga tidak hanya mengarang satu kitab saja, tetapi mengarang kitab-kitab Sejarah yang berjumlah tujuh kitab. Satu kitab yang paling terkenal di antara kitab-kitab sejarahnya adalah kitab al-Bida>yah wa al-Niha>yah yang berisi tentang cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu yang tertera di dalam Alquran dan Hadith.[11]
Wafatnya Ibnu Kathir
Ibnu Kathir hidup di dunia kurang lebih selama 74 tahun. Ia wafat pada hari Kamis, tanggal duapuluh enam Sha’ba>n tahun 774 H di Damaskus. Ia dimakamkan di S{ufiyyah, di dekat makam gurunya Ibnu Taimiyyah.[12] Menurut Ibnu Nas}i>r al-Di>n, ia dimakamkan di dekat gurunya Ibnu Taimiyah atas dasar wasiatnya.[13]

B.     Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{i>m
Ibnu Kathir tidak menjelaskan kapan tepatnya memulai menulis kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im. Ia juga tidak menyebutkan kapan tepatnya menyelesaikan penulisan kitab Tafsir ini.[14]
Karakteristik Kitab
 Ada beberapa karakteristik tertentu yang terdapat di kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im karakteristik-karakteristik kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im adalah sebagai berikut,
1.      Menafsirkan Al-quran sesuai dengan urutan mushaf
Ibnu Kathir menafsirkan Al-quran dimulai dari surat Al-Fatihah hyang merupakan surat pertama didalam mushaf sampai surah An-Naas yang merupakan surat terakhir dalam mushaf.
2.      Berisi hadith-hadith nabi dan athar-athar sahabat dan tabi’in yang diambil dari beberapa sumber. Seperti mengambil dari kitab tafsirnya Abu Bakr bin Marduwaih, kitab tafsirnya Imam ‘abd bin Humaid, kigtab tafsirnya Imam Ibnu Mundir dan lain sebagainya.[15]
C.    Analisis Penafsiran Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Analisis yang dimaksud dalam makalah ini adalah menelaah dan mempelajari sebuah penafsiran Alquran yang disajikan dalam kitab-kitab Tafsir, baik dari metode penafsiran, bentuk penafsiran, dan corak penafsiran. Tiga hal dalam kitab Tafsir Ibnu Kathir ini yang akan dikupas dan dijelaskan secara singkat dan padat.
Metode Penafsiran Alquran
Menafsirkan Alquran tidak sembarangan menafsirkan begitu saja. Menafsirkan Alquran harus menggunakan sebuah metode penafsiran. Metode penafsiran digunakan sebagai paradigma mufassir dalam menafsirkan Alquran. Terdapat empat metode penafsiran yang bisa dipakai mufassir dalam menafsirkan Alquran, yaitu metode ijma>liy, metode tahli>liy, metode muqa>rin, dan metode maudhu’iy.
Yang dimaksud dengan metode Tahliliy adalah menafsirkan ayat Alquran dengan memaparkan segala yang Dalam metode ini, biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Alquran, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitan suatu ayat dengan ayat yang lain (munasabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para Tabi’in, maupun ahli Tafsir lainnya.[16]
Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{i>m karya Ibnu Kathir ini menggunakan metode penafsiran Alquran secara tahli>liy (analitis), karena Ibnu Kathir menafsirkan Alquran ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan mushaf. Ibnu Kathir juga menggunakan bentuk penafsiran secara al-ma’thu>r yang menjadi salah satu ciri penafsiran Alquran secara tahli>liy, dengan indikator ia menafsirkan Alquran dengan Alquran, dengan Sunnah, dan dengan Athar Sahabat dan Tabi’in.
Selain itu, Ibnu Kathir juga menyajikan munasabah antara satu ayat dengan ayat-ayat lainnya. Hal itu bertujuan untuk menghubungkan makna antara beberapa ayat. Contohnya adalah penafsiran surah al-Baqarah ayat 2 sebagai berikut,
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Ibnu Kathir menafsirkan kata yu’minu>na dengan mengutip pendapat beberapa ulama. Ia mengutip pendapat Ma’amar al-Zuhriy yg memaknai iman dengan amal, mengutip pendapat Abu Ja’far al-Raziy yang memaknai iman dengan rakut, dan pendapat-pendapat ulama lain. Ia juga menjelaskan makna iman secara etimologi dengan meyakini dengan murni. Makna ini adalah sesuai dengan makna yang dimaksud denga firman Allah surah al-Taubah ayat 61, surah Yusuf ayat 17, dan surah al-Inshiqa>q ayat 25.[17] Penafsiran semacam ini adalah penafsiran secara tahli>liy yang mengurai makna ayat kata per kata.
Bentuk Penafsiran
Terdapat karakter khas dalam metode penafsiran tahliliy, yaitu bentuk penafsirannya ada kalanya al-ma’thur dan ada kalanya al-ra’yu. Bentuk penafsiran al-ma’thur adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran, menafsirkan Alquran dengan Sunnah Nabi Muhammad, dan atau menafsirkan Alquran dengan Athar Sahabat. Menafsirkan Alquran dengan Athar sahabat masih menjadi perdebatan di kalangan ulama terkait statusnya termasuk bentuk al-ma’thur atau tidak. Akan tetapi, di dalam mayoritas kitab-kitab Tafsir dengan bentuk al-ma’thur, Athar Tabi’in termasuk bentuk penafsiran al-ma’thur.[18]
Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im karya Ibnu Kathir ini adalah kitab Tafsir yang bentuk penafsirannya dengan al-ma’thur. Ia menafsirkan Alquran pertama kali dengan Alquran. Apabila ia tidak menemukan penafsiran di Alquran, ia menafsirkan Alquran dengan Sunnah. Apabila ia tidak menemukan penafsiran di Sunnah, ia menafsirkan Alquran dengan perkataan Sahabat. Apabila ia tidak menemukan penafsiran dengan perkataan Sahabat, ia menafsirkan Alquran dengan perkataan Tabi’in.
Penafsiran semacam ini adalah penafsiran yang paling baik menurut Ibnu Kathir. Ia berkata: “Paling baiknya cara menafsirkan Alquran adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran, karena jika ada suatu ayat yang masih global, maka dijelaskan dengan ayat yang lain. Jika engkau lemah dalam hal itu, maka tafsirkanlah Alquran dengan Sunnah, karena Sunnah adalah penjelas dan penerang bagi Alquran. Jika kita tidak menemukan penafsiran di dalam Alquran dan Sunnah, maka kita meruju’ kepada perkataan para Sahabat, karena mereka orang yang paling tahu tentang Tafsir.”[19]
Contoh penafsiran al-ma’thur di dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im terdapat di surah al-Baqarah ayat 28 sebagai berikut,
y#øx. šcrãàÿõ3s? «!$$Î/ öNçGYà2ur $Y?ºuqøBr& öNà6»uŠômr'sù ( §NèO öNä3çGÏJム§NèO öNä3Íøtä §NèO ÏmøŠs9Î) šcqãèy_öè? ÇËÑÈ  
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Kalimat wa kuntum amwa>tan fa ahya>kum ditafsiri Ibnu Kathir dengan “Kalian sudah tiada. Allah telah mengeluarkan kalian dari dunia ada, sebagaimana firman Allah SWT surah al-T{u>r ayat 35-36.”[20] Penafsiran seperti contoh ini adalah penafsiran Alquran dengan Alquran.
Corak Penafsiran
Tafsir
yang menggunakan metode penafsiran tahli>liy diwarnai dengan kecenderungan dan keahlian dari mufassirnya, sehingga lahirlah corak-corak penafsiran, seperti corak Fikih, corak sufiy, corak falsafiy, dan lain-lainnya.[21] Sebagaimana diketahui, kecenderungan penafsiran kitab Tafsir sesuai dengan latar belakang ilmu yang dikuasai mufassirnya.
Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im ini mempunyai kecenderungan penafsiran Alquran dalam bidang Fikih. Hal ini bisa dilihat dari latar belakang Ibnu Kathir yang mana ia adalah ahli dalam bidang Fikih selain ahli dalam bidang Hadith dan Sejarah. Kecenderungan ke corak Fikih ini juga bisa dilihat dari eksplorasi Ibnu Kathir dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, seperti contoh penafsiran surat al-Baqarah \
ayat 185 sebagai berikut,
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& الاية  
“…Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain….”
Ibnu Kathir menjelaskan ayat 185 ini kurang lebih seluas lima halaman kitab. Ia juga menjelaskan empat masalah yang berkaitan dengan ayat ini[22], yang ia cantumkan pendapat ulama beserta dalil-dalilnya. Pada intinya, ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, Ibnu Kathir menjelaskan penafsirannya seluas-luasnya dan lebih luas apabila dibandingkan dengan ayat-ayat yang terkait dalam bidang ilmu lainnya.





[1]Muhammad Husain al-D}ahabiy, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz. 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 173.
[2]Mahmud bin Jamil, et. all, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, ATC Mumtaz Arabia, Derajat Hadith-Hadith dalam Ibnu Kathir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 10.
[3]Ibid., 8.
[4]Ibid., ­9.
[5]Muhammad Husain al-D}ahabiy, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz. 1, 174.
[6]Ibid., 174.
[7]Selengkapnya lihat muqaddimah pada bab al-Dirasah, Imam Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Juz 1, (Riyadh: Dar al-T{ayyibah, 1999), 13-14.
[8]Ibid., 14.
[9]Selengkapnya lihat Ibid., 15.
[10]Lihat Ibid., 16.
[11]Lihat Ibid., 16.
[12]Ibid., 17.
[13]Ibid., 17.
[14]Ibid., 18.
[15]Ibid., 7.
[16]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 31.
[17]Imam Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Juz 1, 165.
[18]Nur al-Din ‘Itr, Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, (Damaskus: Al-S{aba>h, 1993), 74.
[19]Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im, Juz 1, 7.
[20]Ibid., 212.
[21]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 33.
[22]Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{im, Juz 1, 185.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar