Makalah:
Disusun
untuk memenuhi tugas matakuliah
Tadrib
Kutub al-Tafsir
Oleh:
1.
MUHAMAD
KHUSNAN (E03214010)
2.
ACHMAD
ALI MAKKI (E03214017)
3.
MUHAMAD
ILYAS (E03214011)
Dosen
Pengampu:
Naufal Cholily, M.Th.I
PRODI ILMU
ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB II
STUDI
KITAB TAFSI<R al-QUR’A<N
al-‘AZ}I<M
IBNU KATHI<R
A.
Biografi
Ibnu Kathi>r
Nama
lengkap Ibnu Kathi>r
adalah Abu al-Fida>’ Isma’i>l bin Amr bin Kathi>r bin Dhau’ bin
Kathi>r bin Zara’ al-Bas}rawiy al-Shafi’y.[1]
Ia lahir di dusun Mijdal, termasuk bagian kota Bushra
pada tahun 701 H, dan ayahnya adalah seorang pendakwa di kota tersebut.[2]
Ayahnya adalah seorang khatib yang wafat pada saat Ibnu Kathir berumur 4 tahun.
Ayahnya berguru kepada al-Nawawi dan al-Fazariy. Saudaranya, Syaikh Abdul Wahha>b, juga belajar Fiqh darinya pada permualan pengenalannya terhadap
khazanah keilmuan.[3]
Pada tahun 706 H, Ibn Kathir pindah ke kota Damaskus
saat berusia 5 tahun. Ia memperdalam Fikh kepada Burhanuddin Ibrahim bin
Abdurrahman Al Farazi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Farhah. Ia juga banyak
belajar kepada Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazyi, pemilik kitab Tahzdib al-Tahdzib yang wafat pada
tahun 724 H. Ia menikahi putri Jamaluddin Yusuf. Selain itu, ia juga belajar
kepada ahli sejarah al-Hafiz Syamsuddin al-Zahabi Muhammad bin Ahmad bin Qaimaz,
dan juga diberi ijazah ketika di Mesir yang diberikan kepada Ibnu Kathir oleh
Abu Musa al-Qarafi, al-Husaini, Abu al-Fath Al-Dabusi, Ali bin Umar al-Wan,
Yusuf Khatni dan lain-lainnya.[4]
Kedudukan Akademik Ibnu Kathir
Ibnu Kathir
adalah salah seorang ulama yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam ilmu.
Para ulama mengakui tingginya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Kathir. Ia menguasai
banyak bidang ilmu, terutama dalam bidang Hadith, Fikih, dan Sejarah. Imam
al-Dzahabiy berkata di dalam al-mu’jam al-mukhtas}: “Ibnu
Kathir adalah imam yang manjadi mufti, ahli Hadith yang unggul, ahli Fikih yang
mengusai banyak bidang ilmu, muhaddith yang mutqin, mufassir yang ahli,
dan mempunyai banyak karangan.”[5]
Selain
perktaan al-Dzahabiy, terdapat banyak ulama-ulama lain yang mengomentari
tingginya ilmu yang dimiliki Ibnu Kathir, seperti Ibnu Hubaib.[6]
Ibnu Kathir memang benar-benar mufassir sangat ahli dalam bidang ilmu
yang bermacam-macam. Kealiman Ibnu Kathir diamini oleh ulama-ulama lainnya,
sehingga kitab Tafsirnya yang berjumlah empat jilid ini berada di tingkat kedua
kitab Tafsir bi al-ma’thur yang terbaik setelah kitab Tafsir karangan
Ibnu Jarir al-Thabariy.
Guru-guru
dan Murid-muridnya
Ibnu
Kathir adalah seorang mufassir yang mempunyai ghirah tinggi dalam
mencari ilmu. Ia tidak hanya mencari ilmu di tempat kelahirannya saja, tetapi
ia mengelilingi beberapa negeri sebagai tempat singgah untuk mencari ilmu. Dari
beberapa tempat yang disinggahi untuk mencari ilmu, ia mempunyai beberapa guru
yang jumlahnya tercatat tiga puluh orang, seperti Ibnu Taimiyyah, Abu> al-Hajja>j Yu>suf
al-Maziy, imam al-Dzahabiy, dan lain-lain.[7]
Ibnu Kathir juga mempunyai murid-murid yang
mengambil ilmu darinya. Murid-muridnya berasal dari tempat tinggal yang
berbeda-beda. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Khadr
al-Shafi’iy, putranya Muhammad bin Ismail bin Kathir, Abu al-Mahasin
al-Husainiy, dan lain-lainnya. Ada tujuh murid yang tercatat belajar darinya.[8]
Karangan-karangan
Ibnu
Kathir adalah seorang mufassir yang sangat produktif dalam membuat
karangan-karangan ilmiah yang sangat berguna bagi intelektual Islam. Ia tidak
hanya mengarang kitab dalam satu bidang saja, tetapi ia mengarang kitab-kitab
dalam banyak bidang ilmu, terutama dalam bidang ilmu yang sangat dikuasainya,
yaitu bidang Tafsir, Hadith, Fikih, dan Sejarah.
Dalam
bidang Ulu>m
al-Qur’a>n dan ilmunya, Ibnu Kathir mengarang dua kitab yang sangat
terkenal, yaitu Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az}i>m yang
akan dikaji di makalah ini dan kitab Fadha>il al-Qur’a>n. Dalam
bidang Hadith dan ilmunya, ia mengarang kitab yang berjumlah enam belas kitab.
Di antaranya adalah kitab Sharhu S}ahi>h
al-Bukha>riy, Ikhtis}}a>r Ulu>m al-hadith, Ja>mi’ al-Masa>ni>d wa
al-Sunan al-Ha>diy li aqwam al-Sunan, dan lain sebagainya.[9]
Dalam bidang Fikih dan Ushu>l al-Fiqh, Ibnu
mengarang kitab yang berkaitan dengan dua bidang ilmu ini sebanyak tuhuh kitab.
Di antaranya adalah kitab al-Ahka>m al-Kubra>, Kita>b
al-S{iya>m, Ahka>m al-Tanbi>h, dan lain sebagainya.[10]
Dalam bidang Sejarah, ia juga tidak hanya mengarang satu kitab saja, tetapi
mengarang kitab-kitab Sejarah yang berjumlah tujuh kitab. Satu kitab yang
paling terkenal di antara kitab-kitab sejarahnya adalah kitab al-Bida>yah
wa al-Niha>yah yang berisi tentang cerita para Nabi dan umat-umat
terdahulu yang tertera di dalam Alquran dan Hadith.[11]
Wafatnya Ibnu Kathir
Ibnu Kathir hidup di dunia kurang lebih selama
74 tahun. Ia wafat pada hari Kamis, tanggal duapuluh enam Sha’ba>n tahun 774
H di Damaskus. Ia dimakamkan di S{ufiyyah, di dekat makam gurunya Ibnu
Taimiyyah.[12]
Menurut Ibnu Nas}i>r al-Di>n, ia dimakamkan di dekat gurunya Ibnu
Taimiyah atas dasar wasiatnya.[13]
B.
Kitab
Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{i>m
Ibnu
Kathir tidak menjelaskan kapan tepatnya memulai menulis kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im. Ia juga tidak menyebutkan
kapan tepatnya menyelesaikan penulisan kitab Tafsir ini.[14]
Karakteristik Kitab
Ada beberapa karakteristik tertentu yang
terdapat di kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im karakteristik-karakteristik
kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im adalah sebagai berikut,
1.
Menafsirkan
Al-quran sesuai dengan urutan mushaf
Ibnu Kathir
menafsirkan Al-quran dimulai dari surat Al-Fatihah hyang merupakan surat
pertama didalam mushaf sampai surah An-Naas yang merupakan surat terakhir dalam
mushaf.
2.
Berisi hadith-hadith
nabi dan athar-athar sahabat dan tabi’in yang diambil dari beberapa sumber.
Seperti mengambil dari kitab tafsirnya Abu Bakr bin Marduwaih, kitab tafsirnya
Imam ‘abd bin Humaid, kigtab tafsirnya Imam Ibnu Mundir dan lain sebagainya.[15]
C.
Analisis
Penafsiran Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az}i>m
Analisis yang dimaksud dalam makalah
ini adalah menelaah dan mempelajari sebuah penafsiran Alquran yang disajikan
dalam kitab-kitab Tafsir, baik dari metode penafsiran, bentuk penafsiran, dan
corak penafsiran. Tiga hal dalam kitab Tafsir Ibnu Kathir ini yang akan dikupas
dan dijelaskan secara singkat dan padat.
Metode Penafsiran Alquran
Menafsirkan Alquran tidak
sembarangan menafsirkan begitu saja. Menafsirkan Alquran harus menggunakan
sebuah metode penafsiran. Metode penafsiran digunakan sebagai paradigma mufassir
dalam menafsirkan Alquran. Terdapat empat metode penafsiran yang bisa
dipakai mufassir dalam menafsirkan Alquran, yaitu metode ijma>liy,
metode tahli>liy, metode muqa>rin, dan metode maudhu’iy.
Yang dimaksud dengan metode Tahliliy
adalah menafsirkan ayat Alquran dengan memaparkan segala yang Dalam metode
ini, biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Alquran,
ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang
turunnya ayat, kaitan suatu ayat dengan ayat yang lain (munasabah), dan
tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat-ayat, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para Tabi’in,
maupun ahli Tafsir lainnya.[16]
Kitab
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az{i>m karya Ibnu Kathir ini menggunakan
metode penafsiran Alquran secara tahli>liy (analitis), karena Ibnu
Kathir menafsirkan Alquran ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
urutan mushaf. Ibnu Kathir juga menggunakan bentuk penafsiran secara al-ma’thu>r
yang menjadi salah satu ciri penafsiran Alquran secara tahli>liy, dengan
indikator ia menafsirkan Alquran dengan Alquran, dengan Sunnah, dan dengan
Athar Sahabat dan Tabi’in.
Selain
itu, Ibnu Kathir juga menyajikan munasabah antara satu ayat dengan ayat-ayat
lainnya. Hal itu bertujuan untuk menghubungkan makna antara beberapa ayat. Contohnya
adalah penafsiran surah al-Baqarah ayat 2 sebagai berikut,
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/
tbqãKÉ)ãur
no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
“(yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Ibnu
Kathir menafsirkan kata yu’minu>na dengan
mengutip pendapat beberapa ulama. Ia mengutip pendapat Ma’amar al-Zuhriy yg
memaknai iman dengan amal, mengutip pendapat Abu Ja’far al-Raziy yang memaknai
iman dengan rakut, dan pendapat-pendapat ulama lain. Ia juga menjelaskan makna
iman secara etimologi dengan meyakini dengan murni. Makna ini adalah sesuai
dengan makna yang dimaksud denga firman Allah surah al-Taubah ayat 61, surah
Yusuf ayat 17, dan surah al-Inshiqa>q ayat 25.[17] Penafsiran
semacam ini adalah penafsiran secara tahli>liy yang mengurai makna
ayat kata per kata.
Bentuk
Penafsiran
Terdapat
karakter khas dalam metode penafsiran tahliliy, yaitu bentuk
penafsirannya ada kalanya al-ma’thur dan ada kalanya al-ra’yu. Bentuk
penafsiran al-ma’thur adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran,
menafsirkan Alquran dengan Sunnah Nabi Muhammad, dan atau menafsirkan Alquran
dengan Athar Sahabat. Menafsirkan Alquran dengan Athar sahabat masih menjadi
perdebatan di kalangan ulama terkait statusnya termasuk bentuk al-ma’thur atau
tidak. Akan tetapi, di dalam mayoritas kitab-kitab Tafsir dengan bentuk al-ma’thur,
Athar Tabi’in termasuk bentuk penafsiran al-ma’thur.[18]
Kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im karya Ibnu Kathir ini adalah
kitab Tafsir yang bentuk penafsirannya dengan al-ma’thur. Ia menafsirkan
Alquran pertama kali dengan Alquran. Apabila ia tidak menemukan penafsiran di
Alquran, ia menafsirkan Alquran dengan Sunnah. Apabila ia tidak menemukan
penafsiran di Sunnah, ia menafsirkan Alquran dengan perkataan Sahabat. Apabila
ia tidak menemukan penafsiran dengan perkataan Sahabat, ia menafsirkan Alquran
dengan perkataan Tabi’in.
Penafsiran semacam ini adalah penafsiran
yang paling baik menurut Ibnu Kathir. Ia berkata: “Paling baiknya cara
menafsirkan Alquran adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran, karena jika ada
suatu ayat yang masih global, maka dijelaskan dengan ayat yang lain. Jika
engkau lemah dalam hal itu, maka tafsirkanlah Alquran dengan Sunnah, karena
Sunnah adalah penjelas dan penerang bagi Alquran. Jika kita tidak menemukan
penafsiran di dalam Alquran dan Sunnah, maka kita meruju’ kepada perkataan para
Sahabat, karena mereka orang yang paling tahu tentang Tafsir.”[19]
Contoh penafsiran al-ma’thur di
dalam kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im terdapat di surah al-Baqarah
ayat 28 sebagai berikut,
y#øx. crãàÿõ3s? «!$$Î/
öNçGYà2ur
$Y?ºuqøBr& öNà6»uômr'sù ( §NèO öNä3çGÏJã §NèO öNä3Íøtä §NèO Ïmøs9Î) cqãèy_öè? ÇËÑÈ
“Mengapa
kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Kalimat wa
kuntum amwa>tan fa ahya>kum ditafsiri Ibnu Kathir dengan
“Kalian sudah tiada. Allah telah mengeluarkan kalian dari dunia ada,
sebagaimana firman Allah SWT surah al-T{u>r ayat 35-36.”[20]
Penafsiran seperti contoh ini adalah penafsiran Alquran dengan Alquran.
Corak
Penafsiran
Tafsir
yang menggunakan metode penafsiran tahli>liy diwarnai dengan
kecenderungan dan keahlian dari mufassirnya, sehingga lahirlah
corak-corak penafsiran, seperti corak Fikih, corak sufiy, corak falsafiy, dan
lain-lainnya.[21] Sebagaimana diketahui, kecenderungan penafsiran
kitab Tafsir sesuai dengan latar belakang ilmu yang dikuasai mufassirnya.
Kitab Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az{im ini
mempunyai kecenderungan penafsiran Alquran dalam bidang Fikih. Hal ini bisa
dilihat dari latar belakang Ibnu Kathir yang mana ia adalah ahli dalam bidang
Fikih selain ahli dalam bidang Hadith dan Sejarah. Kecenderungan ke corak Fikih
ini juga bisa dilihat dari eksplorasi Ibnu Kathir dalam menafsirkan ayat-ayat
hukum, seperti contoh penafsiran surat al-Baqarah \
ayat 185 sebagai berikut,
…
`yJsù yÍky
ãNä3YÏB tök¤¶9$#
çmôJÝÁuù=sù
( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã
9xÿy
×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé&
… الاية
“…Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain….”
Ibnu
Kathir menjelaskan ayat 185 ini kurang lebih seluas lima halaman kitab. Ia juga
menjelaskan empat masalah yang berkaitan dengan ayat ini[22],
yang ia cantumkan pendapat ulama beserta dalil-dalilnya. Pada intinya, ketika
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, Ibnu Kathir menjelaskan
penafsirannya seluas-luasnya dan lebih luas apabila dibandingkan dengan
ayat-ayat yang terkait dalam bidang ilmu lainnya.
[1]Muhammad Husain al-D}ahabiy,
Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz. 1, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1976), 173.
[2]Mahmud bin Jamil, et. all, Tafsi>r al-Qur’an
al-Az}i>m, ATC
Mumtaz Arabia, Derajat Hadith-Hadith dalam Ibnu Kathir, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), 10.
[7]Selengkapnya lihat muqaddimah pada bab al-Dirasah, Imam
Ibnu Kathir, Tafsi>r
al-Qur’an al-Az}i>m, Juz
1, (Riyadh: Dar al-T{ayyibah, 1999), 13-14.
[9]Selengkapnya lihat Ibid., 15.
[10]Lihat Ibid., 16.
[11]Lihat Ibid., 16.
[16]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 31.
[21]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar