Sabtu, 08 April 2017

NIAT



NIAT

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Fiqih





Oleh:
MUHAMAD ILYAS
NIM:E03214011
Ahmad Fiqhan Jawafi
NIM:E73214045


Dosen Pengampu:
Drs. H. Muktafi, M.Ag







PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2015



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Rumusan Masalah  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
C. Tujuan. . .. . . . . . . . .  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian niat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
B.     Kedudukan niat dalam ibadah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6


BAB III PENUTUP   
A.  Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B.  Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8



DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . 9



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan Nikmat dan Rahmat-Nya kepada kami sehingga bisa mneyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Niat. Dengan tersusunnya makalah ini kami sebagai penulis berharap bisa bermanfaat bagi pembaca dan tak lebih juga sebagai penulis.
Shalawat serta salam yang kami ucapkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kami mendapat syafa’at dan ‘inayahnya karena beliau lah yang menunjukkan kebenaran ini yakni Addin Wa al-Islam.
Setelah selesai penyusunan makalah ini kami sebagai penulis masih banyak merasa kekurangan dan kesalahan karena kami adalah masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu sebagai penyaji bila ada kekurangan dan dan kesalahan kami akan menerima kritik dan saran dengan baik.




Surabaya, April 2015






ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia maka ia akan mendapatkannya, atau karena wanita ia menikahinya, Hijrah itu sesuai yang dia inginkan.[1]
Kadang sebuah amalan kecil diperbesar karena niat yang baik, dan kadang sebuah amalan besar diperkecil pahalanya juga karena niat.[2]Begitulah keterangan Al Imam Ibnul Mubarak tentang pentingnya niat. Niat di dalam nibadah mempunyai rating tinggi yang menentukan abash dan tidaknya suatu ibadah.
Kaidah fikih menegaskan bahwa niat adalah syarat bagi amalan dalam ibadah. Dengan niat diketahui baik dan tidaknya ibadah seorang mukalaf. Dalam adigum yang lain diungkapkan tentang pentingnya niat dengan lafdz “Al Umur bi Al Maqasidiha”. Setiap perkara bergantung pada niat atau tujuannya.[3]
Niat dalam pandangan Islam terpetakan menjadi dua  bidang. Ilmu Fikih memandang niat sebagai penentu sah dan tidaknya ibadah. Sementara ulama tauhid dan tasawuf menempatkan niat pada koridor untuk siapa niat ibadah tersebut diperuntukkan.Secara spesifik pembahasan tentang niat pada pandangan yang kedua cenderung ikhlas.






B.   Rumusan Masalah
1.      Apa itu niat?
2.      kedudukan niat dalam ibadah?

C.   Tujuan Penulisan
1.   Mengetahui pengertian niat secara bahasa dan istilah
2.   Mengetahui aplikasi hukum niat dan kedudukannya dalam ibadah
















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Niat
1.    Niat Secara Bahasa
Secara etimologi niat berarti menyengaja.Kata Niat dalam bahasa Arab berarti menginginkanatau bertekad untuk mendapatkan susatu. Al-Azhari mengatakan bahwa kalimat Nawaakallahu artinya adalah semoga Allah menjagamu.`Orang Arab juga sering berkata Nawaakallahu dengan maksud semoga Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu. Dengan kata lain Niat berarti kehendak atau Al qosdu, yaitu yakinnya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan. Sehingga Niat dan menginginkan sesuatu Iroodatulfi`li adalah sinonim atau muradif.
Ibnu Fafis berpendapat bahwa derivasi kata niat dari lafadz At Tahawwul atau perpindahan dari satu tempat yang lain. Sementara yang kita temukan dalam kamus makna niat sering dikaitkan dengan lafadz al qosdu dan al iradah yang berarti keinginan dan tekad. Di dalam kamus bahasa Indonesia niat dikategorikan sebagai kata serapan yang mempunyai arti maksud, kehendak dan tujuan.[4]
Ibnu Faris juga menyatakan bahwa secara terminologi niat adalah perpindahan usaha seorang mukalaf dari rutinitas pekerjaan kepada pekerjaan yang bernilai ibadah.Pengertian tersebut mengacu pada lafadz at tahawul yaitu perpindahan. Pendapat tersebut juga berpatokan pada Surah An Nisa
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.[5]

2.    Arti Niat Secara Istilah
Al Qarrafi berpendapat tentang arti niat secara istilah adalah tujuan seseorang dengan kehendak hatinya. Al Khitabi menyatakan bahwa niat adalah keinginan hati atau apa ynag diinginkan hati dan untuk ditinjak lanjuti. Berbeda dengan Al Khitabi dan Al Qarrafi Imam Nawawi berpendapat tentang niat bahwa yang disebut niat adalah menuju ke sesuatu dan berkeinginan untuk melakukannya. [6]
Definisi Imam Nawawi didasarkan oleh perkataan orang Jahiliah seperti ungkapan “nawakallahu bi khifdzihi” yang berarti Allah bertujuan atau mempunyai tujuan untuk menjaganya. Niat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tujuan dan keinginan.
Pendapat yang lebih klasifikatif adalah menurut Imam Haromain yang membedakan anatar al azmdan al qosd. Al azm artinya keinginan sedangkan al qosd bermakna tujuan. Tujuan berbeda dengan keinginan. Al azm atau keinginan adalah sesuatu pekerjaan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Sedangkan al qosd atau tujuan adalah sesuatu yang sudah atau sedang dikerjakan.
Lebih lanjut Ibnu Qoyim menjelaskan niat adalah pekerjaan itu sendiri dan berbeda dengan tujuan. Ibnu Qoyim, juga mengkategorikan perbedaan niat dengan tujuan yaitu:
1.    Tujuan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh pekerjaan itu sendiri dan orang lain.
2.    Tujuan diaplikasikan kepada pekerjaan yang mampu dikerjakan. Sedangkan niat dapat di praktikkan kepada sesuatu yang mampu dikerjakan atau yang tidak bisa dikerjakkan.
Dari beberapa istilah tentang pengertian niat, dapat ditarik kesimpulan bahwa niat secara istilah adalah tujuan dan keinginan yang ada dalam hati yang disertai iktikad untuk melakukan pekerjaan.
3.    Arti Niat Secara Syara’
Makna niat secara etimologi, terminologi dan syara’ mempunyai perbedaan. Secara umum syara’ mempunyai terminologi sendiri dalam memaknai niat. Keterangan tersebut dapat kita runtut dari pendapat Qadhi al Baidhawi yang mendefinisikan niat dalam istilah syariat sebagai usaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk mecari ridla Allah.
Di dalam buku fikih niat kita dapat menelusuri makna niat secara syara’ dengan mengkatagorikan pendapat para ulama. Secara spesifik pendapat ulama dapat kita bagi menjadi dua yaitu[7]:
1.    Keinginan melakukan sesuatu yang diikuti dengan melakukan perbuatan. Ulama yang mengikuti pendapat ini cenderung mengidentifikasi bahwa setiap niat adalah keinginan yang disertai iktikad untuk melaksanakaanya. Itulah sebab secara lengkap bahwa niat secar syara’ berarti keinginan melakukan sesuatu yang disertai dengan perbuatan.
2.    Niat didefinisikan dari derifasi makna keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan baik karena Allah, kehidupan dunia atau apapun. Dari historigrafi lafadz niat yang mempunyai arti di atas yang kemudian karena datangnya islam maka makna niat tersebut diintervensikan dengan ungkapan setiap perbuatan yang bertujuan untuk mendapat ridla Allah.
Kedua kategori tersebut menjadi aplikatif jika dianalogikan dengan konteks ibadah atau dalam di kursus syara’.

B.   Kedudukan Niat Dalam Ibadah
Di dalam al Qura’an sudah di jelaskan pada surat abayyinah yaitu:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[8]
Ke ikhlasan terdapat dalam hati nurani yang dalam berarti ikhlas tersebut membutuhkun niat yang tulus dan murni dari hati tersebut. Oleh karena itu tempat niat ialah dalam hati dan juga tempat keikhlasan diri seseorang juga bersumber dari hati Maka niat hukumnya wajib bagi seorang jika dalam melaksanakan ibadah karena suatu ibadah harus dilaksanakan dengan ikhlas yang murni dari lubuk hati.

Dalam hal kedudukan niat dalam ibadah Imam Nawawi memberikan komentar bahwa diantara disyariatkannya niat adalah.
(1) membedakan antara ibadah dan kebiasaan.
(2) Kedua untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah lain.
Kategori pertama menurut Imam Nawawi dapat kita contohkan jika ada seseorang yang berada di dalam masjid. Adakalannya orang tersebut sedang beristirahat dengan duduk-duduk di dalam masjid (aktivitas yang bukan ibadah). Dan ada orang yang memang secara sengaja duduk-duduk di dalam masjid untuk beriktikaf (aktifitas ibadah yang disertai niat). Atau adakalanya sesorang mukalaf yang mandi dengan mengguyur seluruh badanya tanpa niat (melakukan adat kebiasaan aktivitas). Dan pada hari jum’at ia meniatkan mandi sebagai mandi sunah (aktifitas ibadah yang disertai dengan niat).
Sementara contoh kategori kedua dari pendapat Imam Nawawi adalah mukalaf bershalat empat rakaat. Tanpa niat tidak diketahui apakah yang dilakukan oleh mukalaf tersebut shalat dluhur atau ashar. Atau sesorang yang sedang memberikan harta kepada fakir miskin. Tanpa dasar niat kita akan sulit membedakan apakah pemberian tersebut hibah, waris, hadiah, shadaqah, wasiat atau nadzar. Niat menjadi pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lain.
Niat menjadi sangat urgen dalam menentukkan keabsahan ibadah secara syara’, hal ini digantungkan pada siapa ibadah tersebut diperuntukkan. Bahkan jika niat dilafadkan atau ditujukan kepada sesuatu yang salah akan berakibat fatal. Ibadah sujud dan thawaf misalnya akan bernilai ibadah secara syari’i jika niat dan tujuannya adalah Allah SWT. Namun akan berhukum syirik jika dilakukan dihadapan berhala tanpa niat karena Allah.
Penjelasan niat ditinjau dari kedudukannya tersebut sejalan dengan beberapa hadist nabi yaitu:
1.    “Inama ‘amalu bin niyat, wainnama likulli riim manawa” yang berarti setiap amal tergantung pada niatnya, dan mereka mendapatkan apa yang mereka niatkan. 
2.    “Tsumma  yub’asunna ala niyatihim” mereka dibangkitkan sesuai niatnya masing-masing.
Hadist-hadist di atas yang menjadi pondasi dari kaidah fikih Al umur bi maqasidiha yang artinya setiap amal atau perkara tergantung dari maksud dan tujuannya.
Dari hadist dan kaidah fikih tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan niat ada didalam hati. Tidak ada tuntunan dari rasulullah untuk menlafadkan niat dan mendhahirkannya, kecuali ibadah haji dan umrah.
Landasan dari kesimpulan tersebut didasarkan dari:
1.    Hadits Umar bin Khatab: “inamal a'malu binniyat”. (sesunggunya amalan tergantung niyatnya).
2.    Hadits Aisyah: "barang siapa mengada-ada (berbuat bid'ah) suatu amalan dalam agama kami ( islam ) yang tidak ada contohnya (dari rasulullah) maka amalanya tertolak”.  (lihat Arbain An-nawawi hadits ke 5)
3.    Hadits Nu'man bin Basyir: “sesunggunya halal telah jelas dan haram sudah jelas”. (lihat arbain nawawi hadits ke 6)
Niat menjadi penentu keabsahan suatu ibadah, hal ini sesuai fungsinya yakni sebagai pemisah antara adat dan ibadah sekaligus niat sebagai skat antara satu ibadah dengan ibadah yang lain.



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan

Makna niat Secara bahasa semakna dengan lafadz Al Qosddan Al iradah yang bearti menginginkanatau bertekad untuk mendapatkan susatu. Sedangkan secara istilah niat berarti tujuan dan keinginan yang ada dalam hati yang disertai iktikad untuk melakukan pekerjaan. Berbeda dengan kedua pengertian tersebut makna niat dalam pandangan syara berarti  usaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk mecari ridla Allah.
Niat di dalam ibadah mempunyai funsi dan kedudukan. Kedudukan niat adalah di dalam hati. Adapun pelafalan niat bukan merupakan perintah Alloh kecuali di dalam ibadah haji dan umrah.



B.   Saran
Sebagai penulis bila setelah pembacaan dan pengeroksian makalah ini kami siap menerima kritik dan saran dari apa yang terkandung dari makalah ini karena hanyalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu mohon dengan sebaiknya makalah ini di fahami seksama agar kesalah dan kekurangan bisa ditemukan dan bisa dibenahi dengan baik.





DAFTAR PUSTAKA
Al ali, Jumanatul. Al Qur’an. Bandung: 2004
Umar, Sulaiman. Fikih Niat. Jakarta: Gema Insani. 2005
Ibnu, Rajab. Jami' Al-'Ulum wa Al- Hikam. Kairo: Dar al Hadid. 1999

Abdul, Haq. Formulasi Nalar Fikih. Yogyakarta: Khalista. 2005

Tim Pustaka Phonix. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Media Pustaka Phonix. 2012











[1]Sulaiman Umar, Fikih Niat, Jakarta: Gema Insani. 2005.
[2]Rajab Ibnu, Jami' Al-'Ulum wa Al- Hikam, Kairo: Dar al Hadid, 1999
[3]Haq Abdul, Formulasi Nalar Fikih, Kediri: Khalista, 2005
[4]Tim Pustaka Phonix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Pustaka Phonix, 2012.
[5] An-Nisa’ (04): 114
[6]Sulaiman Umar, Fikih Niat, Jakarta: Gema Insani, 2005, hal. 6

[7] Ibd hal 4
[8] Al-bayyinah (98):05