NIAT
Makalah:
Disusun untuk
memenuhi tugas matakuliah
Fiqih
Oleh:
MUHAMAD ILYAS
NIM:E03214011
Ahmad Fiqhan
Jawafi
NIM:E73214045
Dosen Pengampu:
Drs. H.
Muktafi, M.Ag
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN
FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . .
. . . 2
B.
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . 3
C.
Tujuan. . .. . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian niat
. . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
B. Kedudukan niat
dalam ibadah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . 8
B.
Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . .
. .8
DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
KATA
PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah yang telah melimpahkan Nikmat dan Rahmat-Nya kepada kami sehingga
bisa mneyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Niat. Dengan tersusunnya
makalah ini kami sebagai penulis berharap bisa bermanfaat bagi pembaca dan tak
lebih juga sebagai penulis.
Shalawat
serta salam yang kami ucapkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kami mendapat
syafa’at dan ‘inayahnya karena beliau lah yang menunjukkan kebenaran ini yakni
Addin Wa al-Islam.
Setelah
selesai penyusunan makalah ini kami sebagai penulis masih banyak merasa
kekurangan dan kesalahan karena kami adalah masih dalam tahap pembelajaran.
Oleh karena itu sebagai penyaji bila ada kekurangan dan dan kesalahan kami akan
menerima kritik dan saran dengan baik.
Surabaya,
April 2015
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada
niatnya, dan setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrah karena
Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang
hijrahnya karena dunia maka ia akan mendapatkannya, atau karena wanita ia
menikahinya, Hijrah itu sesuai yang dia inginkan.[1]
Kadang sebuah amalan kecil diperbesar karena
niat yang baik, dan kadang sebuah amalan besar
diperkecil pahalanya juga karena niat.[2]Begitulah keterangan Al Imam Ibnul Mubarak
tentang pentingnya niat. Niat di dalam nibadah mempunyai rating tinggi yang menentukan abash dan tidaknya suatu ibadah.
Kaidah fikih
menegaskan bahwa niat adalah syarat bagi amalan dalam ibadah. Dengan niat
diketahui baik dan tidaknya ibadah seorang mukalaf. Dalam adigum yang lain
diungkapkan tentang pentingnya niat dengan lafdz “Al Umur bi Al Maqasidiha”.
Setiap perkara bergantung pada
niat atau tujuannya.[3]
Niat dalam pandangan Islam terpetakan menjadi dua bidang. Ilmu Fikih memandang niat sebagai
penentu sah dan tidaknya ibadah. Sementara ulama tauhid dan tasawuf menempatkan niat pada koridor
untuk siapa niat ibadah tersebut diperuntukkan.Secara spesifik pembahasan
tentang niat pada pandangan yang kedua cenderung ikhlas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu niat?
2.
kedudukan niat dalam ibadah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian niat secara bahasa dan istilah
2. Mengetahui aplikasi hukum niat dan kedudukannya dalam ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Niat
1.
Niat Secara Bahasa
Secara etimologi niat berarti menyengaja.Kata Niat
dalam bahasa Arab berarti menginginkanatau bertekad untuk mendapatkan susatu.
Al-Azhari mengatakan bahwa kalimat Nawaakallahu artinya adalah semoga
Allah menjagamu.`Orang Arab juga sering berkata Nawaakallahu dengan
maksud semoga Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu. Dengan kata lain Niat berarti kehendak atau Al qosdu, yaitu yakinnya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya
tanpa ada keraguan. Sehingga Niat dan
menginginkan sesuatu Iroodatulfi`li adalah sinonim atau muradif.
Ibnu Fafis berpendapat bahwa derivasi kata niat dari lafadz At
Tahawwul atau perpindahan dari satu tempat yang lain. Sementara yang
kita temukan dalam kamus makna niat sering dikaitkan dengan lafadz al qosdu
dan al iradah yang berarti keinginan dan tekad. Di dalam kamus bahasa Indonesia niat dikategorikan sebagai kata
serapan yang mempunyai arti maksud, kehendak dan tujuan.[4]
Ibnu Faris juga menyatakan bahwa secara
terminologi niat adalah perpindahan usaha seorang mukalaf dari rutinitas
pekerjaan kepada pekerjaan yang bernilai ibadah.Pengertian tersebut mengacu
pada lafadz at tahawul yaitu perpindahan. Pendapat tersebut juga berpatokan
pada Surah An Nisa
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ
أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ
ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa
yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi
kepadanya pahala yang besar.[5]
2. Arti Niat Secara Istilah
Al Qarrafi berpendapat tentang arti niat secara istilah adalah tujuan
seseorang dengan kehendak hatinya. Al Khitabi menyatakan bahwa niat adalah
keinginan hati atau apa ynag diinginkan hati dan untuk ditinjak lanjuti.
Berbeda dengan Al Khitabi dan Al Qarrafi Imam Nawawi berpendapat tentang niat
bahwa yang disebut niat adalah menuju ke sesuatu dan berkeinginan untuk
melakukannya. [6]
Definisi Imam Nawawi didasarkan oleh perkataan orang Jahiliah seperti
ungkapan “nawakallahu bi khifdzihi” yang berarti Allah bertujuan atau
mempunyai tujuan untuk menjaganya. Niat secara sederhana dapat diartikan
sebagai suatu tujuan dan keinginan.
Pendapat yang lebih klasifikatif adalah menurut Imam Haromain yang
membedakan anatar al azmdan al qosd. Al azm artinya keinginan
sedangkan al qosd bermakna tujuan. Tujuan berbeda dengan keinginan. Al
azm atau keinginan adalah sesuatu pekerjaan yang akan dilakukan dimasa yang
akan datang. Sedangkan al qosd atau tujuan adalah sesuatu yang sudah
atau sedang dikerjakan.
Lebih lanjut Ibnu Qoyim menjelaskan niat adalah pekerjaan itu sendiri dan
berbeda dengan tujuan. Ibnu Qoyim, juga mengkategorikan perbedaan niat dengan
tujuan yaitu:
1. Tujuan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerjaan itu sendiri dan orang lain.
2. Tujuan diaplikasikan kepada pekerjaan yang
mampu dikerjakan. Sedangkan niat dapat di praktikkan kepada sesuatu yang mampu
dikerjakan atau yang tidak bisa dikerjakkan.
Dari beberapa istilah tentang pengertian niat, dapat ditarik kesimpulan
bahwa niat secara istilah adalah tujuan dan keinginan yang ada dalam hati yang
disertai iktikad untuk melakukan pekerjaan.
3. Arti Niat Secara Syara’
Makna niat secara etimologi, terminologi dan syara’ mempunyai perbedaan.
Secara umum syara’ mempunyai terminologi sendiri dalam memaknai niat.
Keterangan tersebut dapat kita runtut dari pendapat Qadhi al Baidhawi yang
mendefinisikan niat dalam istilah syariat sebagai usaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik untuk mecari ridla Allah.
Di dalam buku fikih niat kita dapat menelusuri makna niat secara syara’
dengan mengkatagorikan pendapat para ulama. Secara spesifik pendapat ulama
dapat kita bagi menjadi dua yaitu[7]:
1. Keinginan melakukan sesuatu yang diikuti
dengan melakukan perbuatan. Ulama yang mengikuti pendapat ini cenderung
mengidentifikasi bahwa setiap niat adalah keinginan yang disertai iktikad untuk
melaksanakaanya. Itulah sebab secara lengkap bahwa niat secar syara’ berarti
keinginan melakukan sesuatu yang disertai dengan perbuatan.
2. Niat didefinisikan dari derifasi makna
keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan baik karena Allah, kehidupan dunia
atau apapun. Dari historigrafi lafadz niat yang mempunyai arti di atas yang
kemudian karena datangnya islam maka makna niat tersebut diintervensikan dengan
ungkapan setiap perbuatan yang bertujuan untuk mendapat ridla Allah.
Kedua kategori tersebut menjadi aplikatif jika dianalogikan dengan konteks
ibadah atau dalam di kursus syara’.
B.
Kedudukan Niat Dalam Ibadah
Di dalam al Qura’an sudah di jelaskan pada surat abayyinah yaitu:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah
agama yang lurus.[8]
Ke ikhlasan terdapat dalam hati nurani yang
dalam berarti ikhlas tersebut membutuhkun niat yang tulus dan murni dari hati
tersebut. Oleh karena itu tempat niat ialah dalam hati dan juga tempat
keikhlasan diri seseorang juga bersumber dari hati Maka niat hukumnya wajib
bagi seorang jika dalam melaksanakan ibadah karena suatu ibadah harus
dilaksanakan dengan ikhlas yang murni dari lubuk hati.
Dalam hal kedudukan niat dalam ibadah Imam Nawawi memberikan komentar bahwa
diantara disyariatkannya niat adalah.
(1) membedakan antara ibadah dan kebiasaan.
(2) Kedua untuk membedakan satu ibadah dengan
ibadah lain.
Kategori pertama menurut Imam Nawawi dapat kita contohkan jika ada
seseorang yang berada di dalam masjid. Adakalannya orang tersebut sedang
beristirahat dengan duduk-duduk di dalam masjid (aktivitas yang bukan ibadah).
Dan ada orang yang memang secara sengaja duduk-duduk di dalam masjid untuk
beriktikaf (aktifitas ibadah yang disertai niat). Atau adakalanya sesorang
mukalaf yang mandi dengan mengguyur seluruh badanya tanpa niat (melakukan adat
kebiasaan aktivitas). Dan pada hari jum’at ia meniatkan mandi sebagai mandi
sunah (aktifitas ibadah yang disertai dengan niat).
Sementara contoh kategori kedua dari pendapat Imam Nawawi adalah mukalaf
bershalat empat rakaat. Tanpa niat tidak diketahui apakah yang dilakukan oleh
mukalaf tersebut shalat dluhur atau ashar. Atau sesorang yang sedang memberikan
harta kepada fakir miskin. Tanpa dasar niat kita akan sulit membedakan apakah
pemberian tersebut hibah, waris, hadiah, shadaqah, wasiat atau nadzar. Niat
menjadi pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lain.
Niat menjadi sangat urgen dalam menentukkan keabsahan ibadah secara syara’,
hal ini digantungkan pada siapa ibadah tersebut diperuntukkan. Bahkan jika niat
dilafadkan atau ditujukan kepada sesuatu yang salah akan berakibat fatal.
Ibadah sujud dan thawaf misalnya akan bernilai ibadah secara syari’i jika niat dan
tujuannya adalah Allah SWT. Namun akan berhukum syirik jika dilakukan dihadapan
berhala tanpa niat karena Allah.
Penjelasan niat ditinjau dari kedudukannya tersebut sejalan dengan beberapa
hadist nabi yaitu:
1. “Inama ‘amalu bin niyat, wainnama likulli riim
manawa” yang berarti setiap amal tergantung pada
niatnya, dan mereka mendapatkan apa yang mereka niatkan.
2. “Tsumma
yub’asunna ala niyatihim” mereka
dibangkitkan sesuai niatnya masing-masing.
Hadist-hadist di atas yang menjadi pondasi dari kaidah fikih Al umur bi
maqasidiha yang artinya setiap amal atau perkara tergantung dari maksud dan
tujuannya.
Dari hadist dan kaidah fikih tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan
niat ada didalam hati. Tidak ada tuntunan dari rasulullah untuk menlafadkan
niat dan mendhahirkannya, kecuali ibadah haji dan umrah.
Landasan dari kesimpulan tersebut didasarkan
dari:
1. Hadits Umar bin Khatab: “inamal a'malu
binniyat”. (sesunggunya amalan tergantung niyatnya).
2. Hadits Aisyah: "barang siapa
mengada-ada (berbuat bid'ah) suatu amalan dalam agama kami ( islam ) yang tidak
ada contohnya (dari rasulullah) maka amalanya tertolak”. (lihat Arbain An-nawawi hadits ke 5)
3. Hadits Nu'man bin Basyir: “sesunggunya
halal telah jelas dan haram sudah jelas”. (lihat arbain nawawi hadits ke 6)
Niat menjadi penentu keabsahan suatu ibadah, hal ini sesuai fungsinya yakni
sebagai pemisah antara adat dan ibadah sekaligus niat sebagai skat antara satu
ibadah dengan ibadah yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Makna niat Secara bahasa semakna dengan lafadz Al Qosddan Al
iradah yang bearti menginginkanatau bertekad untuk mendapatkan susatu. Sedangkan secara istilah niat berarti tujuan dan keinginan yang ada dalam
hati yang disertai iktikad untuk melakukan pekerjaan. Berbeda dengan kedua
pengertian tersebut makna niat dalam pandangan syara berarti usaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan
baik untuk mecari ridla Allah.
Niat di dalam ibadah mempunyai funsi dan kedudukan. Kedudukan niat adalah
di dalam hati. Adapun pelafalan niat bukan merupakan perintah Alloh kecuali di
dalam ibadah haji dan umrah.
B. Saran
Sebagai penulis bila setelah pembacaan dan
pengeroksian makalah ini kami siap menerima kritik dan saran dari apa yang
terkandung dari makalah ini karena hanyalah manusia yang tak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu mohon dengan sebaiknya makalah ini di
fahami seksama agar kesalah dan kekurangan bisa ditemukan dan bisa dibenahi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al ali,
Jumanatul. Al Qur’an. Bandung: 2004
Umar, Sulaiman. Fikih Niat. Jakarta: Gema Insani. 2005
Ibnu, Rajab. Jami' Al-'Ulum
wa Al- Hikam. Kairo: Dar al Hadid. 1999
Abdul, Haq. Formulasi
Nalar Fikih. Yogyakarta:
Khalista. 2005
Tim Pustaka Phonix. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Media
Pustaka Phonix. 2012