Jumat, 03 Maret 2017

Teori Nadham Al-Farahi



 TEORI NADHAM Al-FARAHI
 Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Paradigma Ulumul Qur’an Kotemporer 1






Oleh:
                             MIA LUTFIATUL PUSPITA          (E73214056)
                             ASWATUR ROHMAN                   (E03214019)
                             DUNAIROH BINTI MOKHTAR  (E34215151)
                             MASBAHATUL LAYLIYAH        (E73214030)
                             MUHAMAD ILYAS                         (E03214011)



Dosen Pengampu:
Fejrian Yazdajird Iwanebel, S.Th.I, M.Hum




PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2016


BAB I
PEMBAHSAN
A.  Latar Belakang
Al farahi ialah seorang tokoh yang menerapkan teori nadham pada al-Qur’an. Dengan teori ini maka da keindahan dalam memahami al-Qr’an. Tak juga teori nadham yang ia terapkan ia juga menyebutkan pengelompokan dalam setiap surat dalam al-Qur’an. Sehingga juga ada makana yang terkandung di dalam pengelompokan tersebut.
Islahi ialah seorang murid yang selalu bersama al farahi dalam mempelaari al-Qur’an. Karena muridnya lah beliau dapat termotivasi untuk mempelajari al-Qur’an karena pada saat itu islahi sempat meninggalkan kegiatan karirnya yaitu menulis sebuah jurnalisltik hanaya untuk belajar dengan sang guru yaitu al farahi.
Meski sesaat itu al farahi telah meningglkan islahi, ia tetap mempelajari tentang ke islaman yaitu hadits tak juga pula ia menulis komentar-komentar tentang al-Qur’an dalam sebuah jurnal nya yang hampir setiap bulannya terbit. Sepanjang karir penulisannya dan mempelajari qur’an ini ia juga banayak melewati rintangan tapi ia tetap saja tak berputus asa hingga ajal menjemputnya.













ii







 
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi
Al-Farahi Bernama lengkap Hamid al-Din al-Farahi lahir di Phariya 18 November 1863, sebuah desa kecil di provinsi Azamgarh, Uttar Padest, India. Al-Farahi adalah seorang yang ahli dalam bidang sejarah teologi dari beberapa sepupunya dan berasal dari keluarga Shibli Nauemani yang berasal dari golongan yang ahli dalam bahasa Arab. Al-Farahi belajar sastra Arab bersama Fayd al-Hasan Sahanpuri seorang master bahasa Arab pada waktu itu. Pada umur 21 tahun al-Farahi mengambil pengukuhan di Aligarh Muslim College untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan kontemporer. Disini al-Farahi juga belajar pada sesorang guru yang bernama Habrew dari anggota German Orientalist Josep Harovits pada tahun 1931.[1]
Setelah lulus dari Allahabad University kemudian dia mengajar di beberapa institut ternama di India dan Jerman, termasuk di Aligarh, Hyberabad, Urdu, dan Dar al-Ulum. Pada saat mengajar al-Farahi mempunyai cita-cita yang besar di Universitas dan institut di India, yaitu al-Farahi ingin mengembangkan semua ilmu pengetahuan berbasis Islam di kontemporisasikan pada tahun 1919. Kemudian pada tahun 1925, al-Farahi pulang kampung di Azamgarh untuk mengambil alih dan mengajar pada sebuah sekolah yang bernama Madrsah al-Islahi. Disini selain mengambil alih dan mengajar, al-Farahi juga mengolah official managing school dengan baik. Al-Farahi juga tak segan membantu beberapa murid yang kesusahan dalam belajar. Diantara para murid tersebut, al-Farahi dipertemukan oleh seorang Murid yang bernama Amin Ahsan al-Islahi yang membuat al-Farahi terisnpirasi untuk membuat pemikiran yang luar biasa pada penafsirannya yaitu Nazmu al-Quran. Sebuah teori monumental yang berisi pembuktian bahwa ayat-ayat al-Quran saling berhubungan dalam sedemikian rupa, sehingga setiap surah atau bab dari al-Quran membentuk stukur yang koheren, dan menimbulkan tema yang menonjol. Pada tanggal 11 November 1930 di Mihra, al-Farahi meninggal pada usia 67 tahun.[2]
Kontribusi terbesarnya adalah untuk kembali mengarahkan pada Ulama’-ulama’ bahwa al-Quran adalah kitab otoritas tertinggi yang dibawakan Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia, ia menekankan bahwa al-Quran haruslah sebagai mizan, furqan.[3]
B. Pemikiran al Farahi
Al Farahi melakukan kajian yang mendalam terhadap Alquran, sehingga dari kajian tersebut al Farahi menemukan teori nadhm (koherensi) Alquran dengan cara yang unik. Cara tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan tiga konstituen nadhm, yang meliputi urutan (order/tartib), kesesuaian (proportion/tanasub), dan kesatuan (unity/wahdaniyah). Disamping itu, al Farahi juga membuktikan bahwa interpretasi tunggal Alquran adalah mungkin.
Teori nadhm yang digagas al Farahi berbeda dengan munasabah pada umumnya. Menurut al Farahi munasabah merupakan bagian dari nadhm. Tanasub (kesesuaian) antara bagian ayat yang satu dengan yang lain tidak bisa mengungkap wacana Alquran sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Sebab, boleh jadi seseorang yang mencari munasabah per ayat merasa puas denga temuannya, padahal sesungguhnya tidak ada tanasub dalam ayat tersebut.[4]
Menurut al Farahi, unit paling dasar dari nadhm adalah surat. Setiap surah memiliki tema sentral yang disebut dengan ‘amud. ‘Amud ini mempersatukan semua komponen dalam sebuah surah. Semua surah yang terdapat dalam Alquran harus di interpretasikan dengan merujuk pada ‘amud tersebut. ‘Amud juga berfungsi sebagai kontrol terhadap penafsiran yang dihasilkan untuk membangun sebuah satu kesatuan surah.[5]
Contoh pengaplikasian teori nadhm yang diambil dari tafsiran al Farahi terkait surah At-Tahrim yang merupakan surat tentang rumah tangga Rasul. Menurut al Farahi ayat 1 sampai 5 berisi teguran kepada Rasul yang didalamnya termuat pesan-pesan moral yang disampaikan pada ayat-ayat berikutnya. Ayat 6 sampai 9 merupakan konten surah tentang memuliakan derajat manusia dengan amanahnya, taubat nasuha, tanggung jawab keagamaan serta pencegahan penyebab-penyebab kesesatan. Sementara ayat 10 sampai 12 berisi penutup surah tentang pemisalan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Menurut al Farahi ayat 6 sampai 9 merupakan ‘amud  dari surah At-Tahrim ini.[6]
C. Aplikasi Konsep pemikiran nadzm Al-Farahi
1.    Gambaran Umum Surat At-Tahrim
Menurut Jumhur ulama, surat ini berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara Nabi dan istrinya, Hafshah, ketika beliau meneguk madu di rumah salah seorang istri beliau yang lain, Zainab binti Jahsyi. Keberadaan Nabi di rumah Zainab ini dinilai cukup lama oleh sebagian istri Nabi yang lain, sehingga timbul kecemburuan di antara mereka, yakni Hafshah dan ‘Aisyah. Keduanya bersepakan bila Nabi saw mengunjungi mereka maka keduanya akan menyampaikan pada Nabi bahwa ada bau tidak sedap dari mulut nabi. Nabi saw yang masuk ke rumah Hafshah setelah diberitakan seperti itu menyatakan bahwa beliau hanya meneguk madu. Hafshah kemudian menjawab bahwa boleh jadi lebah madu itu menghisab dari pohon Maghafir sejenis pohon bergetah dan manis namun beraroma seperti minuman keras. Kemudian Nabi berjanji untuk tidak meneguknya lagi. Nabi berpesan agar tidak menyampaikan hal ini kepada ‘Aisyah, namun justru dilanggar, maka turunlah ayat ini.[7]  
2.    Susunan Surat dan Posisi Ayat-ayatnya
Surat ini dimulai denga pengantar yang merupakan teguran Allah bagi Nabi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah. banyak orang yang melakukan ini dan menganggap perbuatannya adalah baik. Segala sesuatu yang dihalalkan oleh Allah pastinya memiliki manfaat dan tujuan. Surat ini memotret keluarga Nabi yang ideal, yang bila ada kesalahan maka Allah akan langsung menegurnya meskipun termasuk dalam perkara yang remeh. Hal ini juga mengandung pelajaran, bahwa mencari muka mudhahanah itu dilarang oleh Islam, sebagaimana dalam ayat 1-5[8] :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (٢) وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (٣)إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (٤)عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥)
1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
 4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
Penjelasan tentang perselsihan ini dirasa berat oleh nabi dan sebagian orang-orang muslim lainnya karena khawatir terhadap orang-orang yang tidak suka terhadap nabi mengatakan bahwa beliau sedang dimarahi oleh tuhannya. Anggapan semacam ini tidak benar, sebab Allah justru bermaksud membersihkan kesalahan-kesalahan Nabi meskipun kecil, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33.
Dengan janji Allah yang demikian, Nabi dan para keluarga beserta para sahabat menjadi tenang. Kemudian, tanggung jawab Nabi diperluas dengan memeranngi orang-orang kafir dan bersikap keras terhadap mereka. Setelah itu, Allah juga menjanjikan ampunan bagi Nabi dan para pengikutnya.[9]
Pada bagian terakhir, surat ini ditutup dengan menjelaskan beberapa permisalan yang menjadi pokok permasalahan, yakni: memebebaskan manusia dengan tanggungannya agar ia tetap semangat dalam beragama dan menghentikan angan-angan yang batil; membantah alasan-alasan orang-orang yang lupa dan berlebihan.[10]
Al-Farahi menjelaska bahwa setiap individu muslim memiliki tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, oleh karena itu Allah melarang untuk ber-mudhahanah. Tak hanya itu, Allah juga mensyaratkan taubat nasuha bagi yang benar-benar didasari keikhlasan.
Dalam ayat-ayat ini Allah juga memperinngatkan supaya harus keras dalam urusan agama (ghildzah). Sikap ini merupakan sebagian dari kewajiban agama, politik, dan kejiwaan. Al-farahi melihat pada kisah Musa, Isa, Abu Bakar, dan Umar dalam berdakwah kadang menggunakan kekerasan.[11]
Namun yang dimaksud bukanlah dalam arti keji, melainkan dalamm kasih sayang sebagaimana surat Al Imran ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Namun dalam ayat At-Tahrim ayat 9 Allah memerintahkan sebagai berikut :
9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Dua ayat tersebut bukan bertentangan, melainkan menyiratkan pesan bahwa seorang da’i adakalanya harus bersifat lembut dan adakalanya harus berlaku kasar tergantung konteks yang dihadapinya. Dari sini dapat dipahami, bahwa sangat berbahaya bila memahami al-Qur’an secara parsial tanpa melihat keseluruhannya. 
3.    Penutup Surat dengan empat Permisalan
Menurut Al-farahi, surat ini ditutup dengan amsal yang menurut al-Farahi memiliki penjelasan sebagai berikut :
a.    Kekerabatan anatara orang yang baik dengan orang yang ahli keburukan, tidak dapat saling mempengaruhi besok di hari akhir.
b.    Bahwa orang-orang yang berbuat baik dengan sendirinya terbebas dari para kerabatnya yang berbuat buruk.
c.    Allah mensucikan orang-orang ahli kebaikan di dunia dan mengabulkan permintaan mereka.
d.   Sesungguhnya seorang perempuan yang mukmin jika mengikhlaaskan diri pada tuhannya, maka itulah yang diaksud dengan makna kelapangan.
Keempat permisalan ini diungkap al-Farahi mengerucut pada dua hal, yaitu orang-orangkafir yang tidak menadapat pertolongan, dan kemenangan orang-orang yang berbuat kebaikan.[12]
D. Karya-karya al-Farahi
1.      Tafsir Nidhâm al Qurân wa al-Furqân Ta`wîl bi al-Furqân
2.      Al Imân fi Aqsâm al Qur`ân, membahas tenang sifat sumpah.
3.      Mufradāt al Qur`ân, membahas tentang beberapa kata sulit dalam al-Quran serta tentang konstruksi al Qur`an.
4.      al Ra`y al Shahîh fi Man huwa al Dlabîh, menguraikan filosofi pengorbanan dan dengan mengumpulkan kesaksian dari al Qur`an dan Taurat, dan pada gilirannya membantah klaim orang Yahudi bahwa yang niat dikorbankan oleh Ibrahim itu adalah Ishak bukannya lsmail.
5.      Jamharah al Balâghah,membahas tentang  prinsip-prinsip retorika yang diperlukan untuk mempelajari al Quran
6.      Asâlîb al Qur`ân, membahas tentang gaya stilistika al Qur`an dan konstruksi bahasa al Qur`an
7.      Dalâil al Nidhâm.






BAB III
PENUUTUP
A.  Kesimpulan
al farahi ini dalam menganalisa al Qur’an ia menggunakan teori nadham yang menerapkan dalam surat al-tahrim mulai ayat awwal hingga akhir. Ia juga menunjukkan bahwa pada surat al-tahrim ini tidak berupa suatu hinaan pada nabi tapi sebuah perbaikan pada diri nabi muhammad Saw.
Islahi ini adalah murid dekat al-farahi ia merupakan temn belajar dalam mempeajari al-Qu’an, mereka berdua bersama kurang lebih selama 5 tahun selama mendalami al-Quran. Tetapi sialnya al-farahi meninggal lebih dulu dari pada al islahi meskipun ia di tinggal sang guru ia tetap berjuang dalam mengkaji tentang ke islaman.



















DAFATAR PUSTAKA
www.understanding-islam.uk
The Farahi Foundation: An Introduction (Renaissance: al-Mawrid Institute, 1995), 6.
Hamid al-Din Farahi, Dala’il I’jaz (India: Al-Muthba’ah Hamidiyah, 1968), 74.
Hamid al-Din Farahi, Muqaddimah Nadhm Alquran, ter. Thariq Mahmood Hashmi (Lahore: Al-Mawrid, TT), 77.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Juz V : Hlm. 14



[1]www.understanding-islam.uk
[2]The Farahi Foundation: An Introduction (Renaissance: al-Mawrid Institute, 1995), 6.
[3]www.understanding-islam.uk
[4]Hamid al-Din Farahi, Dala’il I’jaz (India: Al-Muthba’ah Hamidiyah, 1968), 74.
[5]Hamid al-Din Farahi, Muqaddimah Nadhm Alquran, ter. Thariq Mahmood Hashmi (Lahore: Al-Mawrid, TT), 77.
                [7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Juz V : Hlm. 14
                [8] Hamiduddin Al-farahi, Tafsir Surat At-Tahrim.
                [9] Ibid., Hlm. 182-183
                [10] Ibid., Hlm. 183
                [11] Ibid., Hlm. 185
                [12] Ibid., Hlm. 206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar