TEORI NADHAM
Al-FARAHI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Paradigma
Ulumul Qur’an Kotemporer 1
Oleh:
MIA LUTFIATUL PUSPITA (E73214056)
ASWATUR
ROHMAN (E03214019)
DUNAIROH BINTI
MOKHTAR (E34215151)
MASBAHATUL
LAYLIYAH (E73214030)
MUHAMAD
ILYAS (E03214011)
Dosen Pengampu:
Fejrian Yazdajird Iwanebel, S.Th.I, M.Hum
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN
FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB I
PEMBAHSAN
A.
Latar Belakang
Al farahi ialah seorang tokoh yang menerapkan teori nadham pada
al-Qur’an. Dengan teori ini maka da keindahan dalam memahami al-Qr’an. Tak juga
teori nadham yang ia terapkan ia juga menyebutkan pengelompokan dalam setiap
surat dalam al-Qur’an. Sehingga juga ada makana yang terkandung di dalam
pengelompokan tersebut.
Islahi ialah seorang murid yang selalu bersama al farahi dalam
mempelaari al-Qur’an. Karena muridnya lah beliau dapat termotivasi untuk
mempelajari al-Qur’an karena pada saat itu islahi sempat meninggalkan kegiatan
karirnya yaitu menulis sebuah jurnalisltik hanaya untuk belajar dengan sang
guru yaitu al farahi.
Meski sesaat itu al farahi telah meningglkan islahi, ia tetap
mempelajari tentang ke islaman yaitu hadits tak juga pula ia menulis
komentar-komentar tentang al-Qur’an dalam sebuah jurnal nya yang hampir setiap
bulannya terbit. Sepanjang karir penulisannya dan mempelajari qur’an ini ia
juga banayak melewati rintangan tapi ia tetap saja tak berputus asa hingga ajal
menjemputnya.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Al-Farahi Bernama lengkap Hamid al-Din al-Farahi lahir
di Phariya 18 November 1863, sebuah desa kecil di provinsi Azamgarh, Uttar
Padest, India. Al-Farahi adalah seorang yang ahli dalam bidang sejarah teologi
dari beberapa sepupunya dan berasal dari keluarga Shibli Nauemani yang berasal
dari golongan yang ahli dalam bahasa Arab. Al-Farahi belajar sastra Arab
bersama Fayd al-Hasan Sahanpuri seorang master bahasa Arab pada waktu itu. Pada
umur 21 tahun al-Farahi mengambil pengukuhan di Aligarh Muslim College untuk
mempelajari disiplin ilmu pengetahuan kontemporer. Disini al-Farahi juga
belajar pada sesorang guru yang bernama Habrew dari anggota German Orientalist
Josep Harovits pada tahun 1931.[1]
Setelah lulus dari Allahabad University kemudian dia
mengajar di beberapa institut ternama di India dan Jerman, termasuk di Aligarh,
Hyberabad, Urdu, dan Dar al-Ulum. Pada saat mengajar al-Farahi mempunyai
cita-cita yang besar di Universitas dan institut di India, yaitu al-Farahi
ingin mengembangkan semua ilmu pengetahuan berbasis Islam di kontemporisasikan
pada tahun 1919. Kemudian pada tahun 1925, al-Farahi pulang
kampung di Azamgarh untuk mengambil alih dan mengajar pada sebuah sekolah yang
bernama Madrsah al-Islahi. Disini selain mengambil alih dan mengajar, al-Farahi
juga mengolah official managing school dengan baik. Al-Farahi juga tak segan
membantu beberapa murid yang kesusahan dalam belajar. Diantara para murid
tersebut, al-Farahi dipertemukan oleh seorang Murid yang bernama Amin Ahsan
al-Islahi yang membuat al-Farahi terisnpirasi untuk membuat pemikiran yang luar
biasa pada penafsirannya yaitu Nazmu al-Quran. Sebuah teori monumental yang
berisi pembuktian bahwa ayat-ayat al-Quran saling berhubungan dalam sedemikian
rupa, sehingga setiap surah atau bab dari al-Quran membentuk stukur yang
koheren, dan menimbulkan tema yang menonjol. Pada tanggal 11 November 1930 di
Mihra, al-Farahi meninggal pada usia 67 tahun.[2]
Kontribusi terbesarnya adalah untuk kembali mengarahkan
pada Ulama’-ulama’ bahwa al-Quran adalah kitab otoritas tertinggi yang
dibawakan Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia, ia menekankan bahwa
al-Quran haruslah sebagai mizan, furqan.[3]
B. Pemikiran al Farahi
Al Farahi melakukan kajian yang mendalam terhadap Alquran, sehingga dari
kajian tersebut al Farahi menemukan teori nadhm
(koherensi) Alquran dengan cara yang unik. Cara tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan tiga konstituen nadhm,
yang meliputi urutan (order/tartib), kesesuaian (proportion/tanasub), dan
kesatuan (unity/wahdaniyah). Disamping itu, al Farahi juga membuktikan bahwa
interpretasi tunggal Alquran adalah mungkin.
Teori nadhm yang digagas al
Farahi berbeda dengan munasabah pada umumnya. Menurut al Farahi munasabah
merupakan bagian dari nadhm. Tanasub
(kesesuaian) antara bagian ayat yang satu dengan yang lain tidak bisa
mengungkap wacana Alquran sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Sebab, boleh jadi
seseorang yang mencari munasabah per ayat merasa puas denga temuannya, padahal
sesungguhnya tidak ada tanasub dalam ayat tersebut.[4]
Menurut al Farahi, unit paling dasar dari nadhm adalah surat. Setiap surah memiliki tema sentral yang disebut
dengan ‘amud. ‘Amud ini mempersatukan semua komponen dalam sebuah surah. Semua
surah yang terdapat dalam Alquran harus di interpretasikan dengan merujuk pada
‘amud tersebut. ‘Amud juga berfungsi sebagai kontrol terhadap penafsiran yang
dihasilkan untuk membangun sebuah satu kesatuan surah.[5]
Contoh pengaplikasian teori nadhm
yang diambil dari tafsiran al Farahi terkait surah At-Tahrim yang merupakan surat tentang rumah tangga Rasul. Menurut
al Farahi ayat 1 sampai 5 berisi teguran kepada Rasul yang didalamnya termuat
pesan-pesan moral yang disampaikan pada ayat-ayat berikutnya. Ayat 6 sampai 9
merupakan konten surah tentang memuliakan derajat manusia dengan amanahnya,
taubat nasuha, tanggung jawab keagamaan serta pencegahan penyebab-penyebab
kesesatan. Sementara ayat 10 sampai 12 berisi penutup surah tentang pemisalan antara
orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Menurut al Farahi ayat 6 sampai 9
merupakan ‘amud dari surah At-Tahrim
ini.[6]
C. Aplikasi Konsep
pemikiran nadzm Al-Farahi
1.
Gambaran Umum Surat
At-Tahrim
Menurut Jumhur ulama,
surat ini berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara Nabi dan istrinya,
Hafshah, ketika beliau meneguk madu di rumah salah seorang istri beliau yang
lain, Zainab binti Jahsyi. Keberadaan Nabi di rumah Zainab ini dinilai cukup lama
oleh sebagian istri Nabi yang lain, sehingga timbul kecemburuan di antara
mereka, yakni Hafshah dan ‘Aisyah. Keduanya bersepakan bila Nabi saw
mengunjungi mereka maka keduanya akan menyampaikan pada Nabi bahwa ada bau
tidak sedap dari mulut nabi. Nabi saw yang masuk ke rumah Hafshah setelah
diberitakan seperti itu menyatakan bahwa beliau hanya meneguk madu. Hafshah
kemudian menjawab bahwa boleh jadi lebah madu itu menghisab dari pohon Maghafir
sejenis pohon bergetah dan manis namun beraroma seperti minuman keras.
Kemudian Nabi berjanji untuk tidak meneguknya lagi. Nabi berpesan agar tidak
menyampaikan hal ini kepada ‘Aisyah, namun justru dilanggar, maka turunlah ayat
ini.[7]
2.
Susunan Surat dan Posisi
Ayat-ayatnya
Surat ini dimulai denga
pengantar yang merupakan teguran Allah bagi Nabi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya dihalalkan oleh Allah. banyak orang yang melakukan ini dan
menganggap perbuatannya adalah baik. Segala sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
pastinya memiliki manfaat dan tujuan. Surat ini memotret keluarga Nabi yang
ideal, yang bila ada kesalahan maka Allah akan langsung menegurnya meskipun
termasuk dalam perkara yang remeh. Hal ini juga mengandung pelajaran, bahwa
mencari muka mudhahanah itu dilarang oleh Islam, sebagaimana dalam ayat
1-5[8] :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ
تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (١) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ
وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (٢) وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ
إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ
عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ
قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (٣)إِنْ
تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ
بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (٤)عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ
أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ
عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥)
1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang,
2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu
sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia
kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah)
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu
(pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan
sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang
lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan
(antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah
memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
4. Jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula)
Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat
adalah penolongnya pula.
5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi
Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada
kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan
ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
Penjelasan tentang
perselsihan ini dirasa berat oleh nabi dan sebagian orang-orang muslim lainnya
karena khawatir terhadap orang-orang yang tidak suka terhadap nabi mengatakan
bahwa beliau sedang dimarahi oleh tuhannya. Anggapan semacam ini tidak benar,
sebab Allah justru bermaksud membersihkan kesalahan-kesalahan Nabi meskipun
kecil, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33.
Dengan janji Allah yang
demikian, Nabi dan para keluarga beserta para sahabat menjadi tenang. Kemudian,
tanggung jawab Nabi diperluas dengan memeranngi orang-orang kafir dan bersikap
keras terhadap mereka. Setelah itu, Allah juga menjanjikan ampunan bagi Nabi
dan para pengikutnya.[9]
Pada bagian terakhir,
surat ini ditutup dengan menjelaskan beberapa permisalan yang menjadi pokok
permasalahan, yakni: memebebaskan manusia dengan tanggungannya agar ia tetap
semangat dalam beragama dan menghentikan angan-angan yang batil; membantah
alasan-alasan orang-orang yang lupa dan berlebihan.[10]
Al-Farahi menjelaska
bahwa setiap individu muslim memiliki tanggung jawab terhadap diri dan
keluarganya, oleh karena itu Allah melarang untuk ber-mudhahanah. Tak
hanya itu, Allah juga mensyaratkan taubat nasuha bagi yang benar-benar didasari
keikhlasan.
Dalam ayat-ayat ini Allah
juga memperinngatkan supaya harus keras dalam urusan agama (ghildzah).
Sikap ini merupakan sebagian dari kewajiban agama, politik, dan kejiwaan.
Al-farahi melihat pada kisah Musa, Isa, Abu Bakar, dan Umar dalam berdakwah
kadang menggunakan kekerasan.[11]
Namun yang dimaksud
bukanlah dalam arti keji, melainkan dalamm kasih sayang sebagaimana surat Al Imran ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ
حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya,
seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Namun dalam ayat
At-Tahrim ayat 9 Allah memerintahkan sebagai berikut :
9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan
orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah
jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Dua ayat tersebut bukan
bertentangan, melainkan menyiratkan pesan bahwa seorang da’i adakalanya harus
bersifat lembut dan adakalanya harus berlaku kasar tergantung konteks yang dihadapinya.
Dari sini dapat dipahami, bahwa sangat berbahaya bila memahami al-Qur’an secara
parsial tanpa melihat keseluruhannya.
3.
Penutup Surat dengan
empat Permisalan
Menurut Al-farahi, surat
ini ditutup dengan amsal yang menurut al-Farahi memiliki penjelasan
sebagai berikut :
a.
Kekerabatan anatara orang
yang baik dengan orang yang ahli keburukan, tidak dapat saling mempengaruhi
besok di hari akhir.
b.
Bahwa orang-orang yang
berbuat baik dengan sendirinya terbebas dari para kerabatnya yang berbuat
buruk.
c.
Allah mensucikan
orang-orang ahli kebaikan di dunia dan mengabulkan permintaan mereka.
d.
Sesungguhnya seorang
perempuan yang mukmin jika mengikhlaaskan diri pada tuhannya, maka itulah yang
diaksud dengan makna kelapangan.
Keempat permisalan ini
diungkap al-Farahi mengerucut pada dua hal, yaitu orang-orangkafir yang tidak
menadapat pertolongan, dan kemenangan orang-orang yang berbuat kebaikan.[12]
D. Karya-karya al-Farahi
1.
Tafsir
Nidhâm al Qurân wa al-Furqân Ta`wîl bi al-Furqân
2.
Al
Imân fi Aqsâm al Qur`ân, membahas tenang sifat sumpah.
3.
Mufradāt al Qur`ân, membahas tentang beberapa kata sulit dalam al-Quran serta
tentang konstruksi al Qur`an.
4.
al
Ra`y al Shahîh fi Man huwa al Dlabîh, menguraikan filosofi pengorbanan dan dengan mengumpulkan kesaksian
dari al Qur`an dan Taurat, dan pada gilirannya membantah klaim orang Yahudi
bahwa yang niat dikorbankan oleh Ibrahim itu adalah Ishak bukannya lsmail.
5.
Jamharah
al Balâghah,membahas tentang prinsip-prinsip retorika yang diperlukan untuk mempelajari al Quran
6.
Asâlîb
al Qur`ân, membahas tentang gaya stilistika
al Qur`an dan konstruksi bahasa al Qur`an
7.
Dalâil
al Nidhâm.
BAB III
PENUUTUP
A. Kesimpulan
al farahi ini dalam menganalisa al Qur’an ia
menggunakan teori nadham yang menerapkan dalam surat al-tahrim mulai ayat awwal
hingga akhir. Ia juga menunjukkan bahwa pada surat al-tahrim ini tidak berupa
suatu hinaan pada nabi tapi sebuah perbaikan pada diri nabi muhammad Saw.
Islahi ini adalah murid dekat al-farahi ia
merupakan temn belajar dalam mempeajari al-Qu’an, mereka berdua bersama kurang
lebih selama 5 tahun selama mendalami al-Quran. Tetapi sialnya al-farahi
meninggal lebih dulu dari pada al islahi meskipun ia di tinggal sang guru ia
tetap berjuang dalam mengkaji tentang ke islaman.
DAFATAR PUSTAKA
www.understanding-islam.uk
The Farahi Foundation: An Introduction (Renaissance:
al-Mawrid Institute, 1995), 6.
Hamid al-Din Farahi, Dala’il I’jaz
(India: Al-Muthba’ah Hamidiyah, 1968), 74.
Hamid al-Din Farahi, Muqaddimah Nadhm
Alquran, ter. Thariq Mahmood Hashmi (Lahore: Al-Mawrid, TT), 77.
Hadiyan, http://hadiyan.wordpress.com/2014/03/10/konferensi-internasional-studi-alquran/ (Senin, 24
Oktober 2016, 07.04).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Juz V : Hlm. 14
[1]www.understanding-islam.uk
[2]The Farahi Foundation: An
Introduction (Renaissance: al-Mawrid Institute, 1995), 6.
[3]www.understanding-islam.uk
[4]Hamid
al-Din Farahi, Dala’il I’jaz (India: Al-Muthba’ah Hamidiyah, 1968), 74.
[5]Hamid
al-Din Farahi, Muqaddimah Nadhm Alquran, ter. Thariq Mahmood Hashmi
(Lahore: Al-Mawrid, TT), 77.
[6]Hadiyan, http://hadiyan.wordpress.com/2014/03/10/konferensi-internasional-studi-alquran/ (Senin, 24 Oktober 2016, 07.04).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar