Rabu, 15 Maret 2017

KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN



KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Dalam Qs. Al-Nisa : 32 dan Qs. Al-Taubah: 71
 Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Tahlili






Oleh:
                          MUHAMMAD AFIF                       (E73213134)
                          MOKHAMMAD AINUL Y            (E03214059)
                          MUHAMAD ILYAS                        (E03214011)



Dosen Pengampu:
Moh. Yardho, M.Th.I





PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2016


KATA PENGANTAR
            Puji syukur hanya milik Allah swt. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang selalu menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah.
Tulisan ini menegaskan keadilan dan kesetaraan dalam perspektif Alquran. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, khalifah di bumi, dan menerima perjanjian primordial. Adam dan hawa sama-sama aktif dalam drama kosmis. Laki-laki dan perempuan berpotensi untuk meraih prestasi optimal. Implementasi kesetaraan gender perspektif Alquran melahirkan adanya transformasi hukum islam yang bertalian dengan isu kesetaraan. Relasi di bidang profesi, seperti adanya hakim perempuan serta memicu lahirnya produk hukum yang berspektif kesetaraan dan keadilan gender.
Akhirnya, semoga risalah pendek ini bisa membukakan mata hati yang terpejam dan menyalakan ruh untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran.  Wallahu a’lam bi al-shawab.


Surabaya, 20 Nopember 2016



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penafsiran Qs. Al-Taubah: 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٧١)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs: al-Taubah(09):71)
Kosa Kata
اولياء: berasal dari al-waliyyu yang artinya “yang dekat atau teman”. Perbedaan antara al-waliyyu dengan al-Nashir adalah al-waliy terkadang kurang mampu memberi pertolongan, sedangkan al-Nashir mampu melakukan pertolongan, dan juga mampu melakukan pertolongan, hanya terkadang yang dilakukan oleh orang lain, bukan teman sendiri.
معروف: suatu kebaikan yang diakui kebaikannya secara universal (semua manusia).
منكر: suatu kejahatan/kejelekan yang diakui kejelekannya secara universal.
Tafsir Ayat:
            Dalam buku Tafsir Quran Karim karya Prof. Dr. H.Mahmud Yunus, menafsirakan bahwa orang-orang mukmin baik laki-laki atau perempuan setengahnya menjadi pembantu yang setengah (bimbing-membimbing), mereka menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, menegakkan sembahyang, memberikan zakat serta mengikuti Allah dan rasul-Nya. Maka orang-orang mukmin wajib menyuruh dengan yang makruf dan melarang dari yang mungkar terhadap siapa yang tidak menurut jalan kebenaran, meskipun pemerintah sendiri. Kezaliman-kezaliman yang dibuat orang dalam negeri, wajib kaum muslimin memberantasnya dan menghilangkan sekedar tenaga masing-masing. Orang-orang surat kabar dengan tulisannya, anggota-anggota dewan perwakilan dengan pembicaraannya dalam sidang-sidang dewan, ulama-ulama dengan perkataan dan fatwanya dan begitulah seterusnya, sehingga tiap-tiap orang Islam bertanggung jawab terhadap kezaliman yang diperbuat orang dalam negerinya. Apabila yang demikian tidak dilaksanakan oleh kaum muslimin, maka Allah akan mendatangkan siksa, bukan saja kepada orang-orang yang berbuat kezaliman itu, melainkan keseluruhan penduduk negeri ini.[1] 
Dalam buku Tafsir Tematis karya Muhammad Fuad Abdul Baqi jilid 2 menafsirkan ayat di atas bahwa sebagian kaum mukminin, baik laki-laki maupun perempuan adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka saling menyokong karena kesamaan agama dan keimanan kepada Allah. Mereka menyuruh yang makruf (segala amal saleh yang diperintahkan syariat, seperti tauhid dan ibadah), mencegah yang mungkar (segala ucapan dan perbuatan yang dilarang syariat, seperti kezaliman dan kenistaan), mengerjakan shalat fardhu tepat waktu, membayar zakat wajib, menanti perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya. Mereka yang memiliki sifat demikian pasti dirahmati Allah (sebagaimana janji-Nya) dengan kenikmatan surga. Allah Maha Kuat, tiada sesuatu yang bisa melemahkan-Nya, Maha Bijaksana dalam semua ketentuan-Nya. Dia tidak meletakkan sesuatu, kecuali pada tempatnya.[2]
Sedangkan dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang keadaan kaum munafikin dan ancaman siksa yang menanti mereka, kini sebagaimana kebiasaan Al-Qur’an menggandengkan uraian dengan sesuatu yang sejalan dengan uraian yang lalu atau bertolak belakang dengannya, melalui ayat-ayat ini Allah menguraikan keadaan orang munafik. Sekaligus sebagai dorongan kepada orang-orang munafik dan selain mereka agar tertarik mengubah sifat buruk mereka.[3]
Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati mereka dan senasib serta sepenanggungan mereka sehingga sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam segala urusan dan kebutuhan mereka. Bukti kemantapan iman mereka adalah mereka menyuruh melakukan yang makruf, mencegah perbuatan yang mungkar, melaksanakan shalat dengan khusuk dan bersinambung, menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti akan dirahmati Allah dengan rahmat khusus, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa tidak dapat dikalahkan atau dibatalkan kehendak-Nya oleh siapapun lagi Maha bijaksana dalam semua ketetapan-Nya.[4]
Firman-Nya (او لباء بعض بعضه) sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain berbeda redaksinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang munafik. Huruf sin pada sayarhamuhum akan merahmati mereka digunakan antara lain dalam arti kepastian datangnya rahmat itu. Kata ini dihadapkan dengan Allah melupakan mereka yang ditujukan kepada orang-orang munafik. Rahmat yang dimaksud di sini bukan hanya rahmat di akhirat, tetapi sebelumnya adalah rahmat di dunia, baik buat setiap orang mukmin maupun untuk kelompok mereka. Rahmat tersebut ditemukan antara lain pada kenikmatan berhubungan dengan Allah swt dan pada ketenangan batin yang dihasilkannya. Juga pada pemeliharaan dari segala bencana, persatuan dan kesatuan serta kesediaan setiap anggota masyarakat muslim untuk berkorban demi saudaranya, ini antara lain yang diraih di dunia. Adapun di akhirat, tiada kata yang dapat menguraikannya, seperti yang disampaikan rasul Saw bahwa di akhirat ada anugerah yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh mata, tidak terdengar beritanya oleh telinga dan tidak juga pernah terlintas dalam benak manusia.[5]  
Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong dan pembantu bagi sebagian yang lain. Mereka satu dengan yang lain bertolong-menolong, bantu-membantu baik dalam masa damai ataupun masa perang mereka satu dengan yang lain bersaudara dan berkasih sayang . orang mukmin saling menolong dalam kesulitan ataupun lapang. Berbeda redaksinya dengan redaksi ayat 67 dari surat ini yang menceritakan keadaan orang munafik. Ba’dhuhum min ba’dh, sebagian mereka dari sebagian yang lain. Perbedaan ini menurut al-Biqai untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukmin tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya karena setiap orang telah mantap imannya atas dalil yang pasti bukan berdasarkan taklid. Sejalan dengan pandangan ini Thahir ibn Asyur menulis dalam tafsirnya yang menghimpun orang-orang mukmin adalah keimanan yang mantap bukan taklid.[6]
Mereka itu adalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah dan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya yang luas. Allah itu maha keras tuntutannya dan tidak ada yang mampu menghalangi tuntutannya. Selain itu Allah maha hakim dalam segala perbuatannya, yang senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Munasabah Ayat:
أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (٧٠)
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah?. telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.(Qs. Al-Taubah: 70).
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Qs. Al-Taubah: 72).
Analisa Penafsiran:
            Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam wilayah publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam wilayah domestik. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah Qs. Al-Taubah: 71.
            Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”.pengertian kata auliya mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasehat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap laki-laki dan perempuan muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau nasehat untuk berbagai bidang kehidupan.[7]
B.     Penafsiran Qs. Al-Nisa: 32
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Kosa Kata:
تَتَمَنَّوْا: Iri hati
لِلرِّجَالِ : Bagi orang laki-laki
لِلنِّسَاءِ : Bagi orang perempuan
نَصِيبٌ : Sebahagian sesuatu yang bagikan misalnya harta waris
(اكتسبوا) iktasabu dan (اكتسبن) iktasabna yang di artikan di atas dengan yang mereka usahakan terambil dari kata kasaba. Penambahan huruf ta pada kata itu sehingga menjadi (اكتسبوا) dalam berbagai bentuknya menunjuk adanya kesungguhan serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh.[8] 
Tafsir Ayat:
Dari berbagai penafsiran mengatakan bahwa mengapa seorang di bagiakan harta sebagian dari seorang laki-laki karena seorang perempuan pada waktu itu tidak bekenaan mengikuti peperangan. Seorang perempuan berkata seandainya saya seorang laki-laki niscaya kami akan beperang dan menyampaikan perilaku seperti hal nya seorang laki-laki.[9] 
Oleh karena itu sebagian mufassir menanggapi pertanyaan seorang perempuan yang di tanyakan kepada Nabi Muhammad Saw dengan surat al-Imran ayat 195 yang berbunyi:
. . . فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى . . . .
. . .Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. . . .
Jadi jika dari sisi keimanan dan pahala itu tidak memandang jenis kelamin semua itu kembali manusia itu sendiri hanya saja laki-laki mendapat bagian lebih karena iamempunyai tenaga lebih untuk mengerjakan sesuatu yang di kerjakan.
Asbabun Nuzul:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, Ummu Salamah berkata: Wahai rasulullah, kaum laki-laki dapat ikut serta berperang, sedangkan kami tidak di ikutsertakan berperang dan hanya mendapat setengah bagian warisan. Maka Allah menurunkan: wala tamannau ma fadl-dlala Allahu bihi ba’dlakum ala ba’dhin (dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagiaan lebih banyak dari sebahagian yang lain). Hr. At-Tirmidzi.
Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari ibnu Abbas tentang ayat ini, ia berkata: Hendaklah laki-laki tidak berkhayal, dan ia berkata: seandainya aku memiliki harta si fulan dan keluarganya, maka Allah melarang hal itu, akan tetapi (hendaklah) ia memohon kepada Allah SWT dari karunia-nya. Al-Hasan, Muhammad bin Sirin, Atha’ dan adh-Dhahhak juga berkata demikian. Itulah makna yang tampak dari ayat ini. Hal ini tidak menolak hadits yang terdapat dalam hadits shahih: Tidak boleh iri hati, kecuali dalam dua hal; (diantaranya) terhadap seseorang yang diberikan harta oleh Allah, lalu dihabiskan penggunaannya dalam kebenaran, lalu seseorang berkata: seandainya aku memiliki harta seperti si fulan, niscaya aku akan beramal sepertinya. Maka pahala keduanya adalah sama.
Sesungguhnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh ayat. Di mana hadits itu menganjurkan untuk berharap mendapatkan nikmat seperti yang dimiliki oleh orang itu, sedangkan ayat tersebut melarang berharap mendapatkan pengkhususan nikmat tersebut.
Allah berfirman: wa la tamannau ma fadl-dlala Allahu bihi ba’dlakum ala ba’dhin (dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagiaan lebih banyak dari sebahagian yang lain). Yaitu dalam perkara dunia dan agama berdasarkan hadits Ummu Salamah dn Ibnu Abbas. Demikian pula, ibnu Abi Rabah berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan larangan iri hati terhadap apa yang dimiliki seseorang, dan juga iri hati wanita untuk menjadi laki-laki, lalu mereka akan berperang.” HR. Ibnu Jarir.
Kemudian firman-Nya: Lir rijali nashibun mimaktasabu wa lin nisa’i nashibun mimmaktasabn (karena bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan) yaitu masing-masing mendapatkan pahala sesuai dengan amal yang dilakukannya. Jika amalnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan dan jika amalnya jelek maka balasannya adalah kejelekan pula. Inilah pendapat ibn Jarir.
Kemudian Allah mengarahkan mereka pada sesuatu yang memberikan maslahat (kebaikan) bagi mereka dengan firman-Nya: was alul Allaha min fadl lihi (dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya). Janganlah kalian iri hati terhadap apa yang telah kami karuniakan kepada sebagian kalian, karena hal ini merupakan suatu keputusan. Dalam arti bahwa iri hati tidak merubah sesuatu apapun. Akan tetap mohonlah kalian kepada-Ku sebagian dari karunia-Ku, niscaya Aku akan berikan pada kalian. Sesungguhnya Aku Maha Pemurah lagi Maha Pemberi.
Kemudian Allah berfirman: Inna Allaha kana bikulli syai in aliman (sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu) yaitu, Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak memperoleh dunia maka Dia akan memberikan kepadanya, siapa yang berhak faqir maka dia akan menfakirkannya. Dan Allah pun Maha Mengetahui siapa yang berhak memperoleh akhirat, maka Dia akan memantapkannya terhadap amalnya dan terhadap orang yang berhak mendapat kehinaan maka Dia pun akan menghinakannya sehingga ia tidak dapat menjalankan kebaikan dan saran-sarannya.
Untuk itu, Allah berfirman: inna Allaha kana bi kulli syai in aliman (sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu).[10]
Munasabah Ayat: 
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا (٣١)
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (Qs. Al-Nisa: 31).
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.[11] dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Qs. Al-Nisa: 33).
Analisa Penafsiran:
Ajaran Al-Qur’an tentang perempuan umumnya merupakan bagian dari usaha Al-Qur’an untuk menguatkan dan memperbaiki posisi sebagian atau kelompok lemah dalam kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Yang menjadi tujuan pokok Al-Qur’an tentang perempuan adalah menghilangkan bagian-bagian yang memperlakukan perempuan secara kejam.[12] Islam memberi perempuan sejumlah hak, menugasinya dengan sejumlah kewajiban, memberinya kesempatan untuk beribadah dan tugas-tugas syariat lainnya. Secara umum Qs. Al-Nisa: 32 menunjukkan hak-hak perempuan.
Adapun hak-hak perempuan antara lain:
1.      Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
2.      Hak dan kewajiban belajar
3.      Hak-hak dalam bidang politik
4.      Hak-hak perempuan sebagai istri
Sedang kewajiban seorang perempuan menurut ajaran agama islam adalah sebagai berikut:
1.      Peranan istri dalam rumah tangga
2.      Pekerjaan perempuan di dalam rumah




C.    Hakikat Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.[13] Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[14] Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional  antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[15] Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).[16] Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).[17]
Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwaj) dalam Al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS. Al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan Qs. Thaha 53. Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan. Langit diumpamakan dengan suami yang menyimpan air Qs. Al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS. Al-Thariq: 12. Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa Qs. Al-Ikhlas: 14.
Secara umum tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distintion) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi Al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawadah wa rahmah) di lingkungan keluarga QS. al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) Qs. Saba: 15.
al-Qur’an juga berobsesi untuk mengalihkan pola hidup yang bercorak kesukuan (tribalism) yang rawan terhadap berbagai ketegangan dan kezaliman, menuju ke pola hidup ummah, seperti disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah: 213 artinya sebagai berikut:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Pola hidup ummah adalah pola hidup yang lebih mendunia dan lebih menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Dalam pola kesukuan, promosi karier hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan perempuan sulit sekali memperoleh kesempatan itu. Dalam pola hidup ummah, laki-laki dan perempuan terbuka peluang untuk memperoleh kesempatan itu secara adil.[18]
D.    Surat al-Nisa’ dan Diskursus Perempuan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kitab-kitab suci pendahulunya, baik dari segi struktur redaksi yang digunakan maupun dari makna eksplisit dan implisit yang terkandung di dalamnya.
Salah satu tema yang yang dijelaskna dalam al-Qur’an adalah permasalahan perempuan. Ia menyajikan topik perempuan dalam banyak ayat dalam berbagai surat. Namun yang paling banyak adalah dalam Qs. Al-Nisa’, sehingga ia sering dinamakan al-Nisa’ al-Kubra. Penamaan ini untuk membedakannya dengan surat lain yang juga menyajikan sebagian masalah perempuan, yaitu surat al-Thalaq yang sering dinamakan sebagai al-Nisa’ al-Shughra.
Surat al-Nisa’ yang terdiri dari 176 ayat adalah surat terpanjang sesudah surat al-Baqarah. Dinamakan al-Nisa yang berarti “perempuan-perempuan”, boleh jadi karena pada ayat pertama telah disebut kata al-Nisa’ dan boleh jadi karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Surat al-Nisa sebagaimana surat-surat lain yang diturunkan di Madinah, mengandung banyak peraturan hidup dan undang-undang terutama soal pembagian warisan (faraid), tetang hukum nikah, dan siapa-siapa saja dari perempuan yang haram dinikahi atau sering disebut sebagai maharim al-Nikah, apa kewajiban laki-laki terhadap perempuan, dan apa kewajiban perempuan terhadap laki-laki. Selain itu, surat al-Nisa’ juga membicarakan masalah anak yatim, tentang kebolehan seorang laki-laki beristri lebih dari satu, bahkan sampai empat. Di dalamnya juga diterangkan tentang penyelesaian kemelut dalam pergaulan suami istri, yang bisa saja terjadi, lalu ditunjukkan cara penyelesaiannya, dan menjelaskan tentang pegangan hidup setelah berumah tangga.
Untuk memahami konteks historis surat al-Nisa’, terlebih dahulu diperlukan peahaman mendalam terhadap kondisi sosial-budaya bangsa Arab ketika itu. Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an, seperti ayat-ayat tentang perempuan dapat disalahpahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab. Status perempuan dalam Islam dapat dipahami secara benar hanya apabila diketahui status mereka pada zaman Jahiliyah. Alasannya jelas, karena tidak ada revolusi politik atau sosio keagamaan yang dapat menghapus semua jejak masa lalu. Kontinuitas senantiasa ada dan inilah yang memelihara pertautan organis dengan masa lalu. Pemutusan ikatan secara total dengan masa lalu, meskipun diusahakan, tidak akan berhasil. Sebagaimana diketahui, berbagai perlakuan terhadap perempuan yang berlaku pada masa pra Islam yang telah diperbarui, atau dilarang oleh revolusi Islam, kembali muncul di dalam syariat Islam melalui adat (praktek-praktek masyarakat Arab pra Islam).
            Pada masa pra-Islam, perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih baik dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda.dalam surat al-Nisa’ ayat 19, dengan tegas Allah melarang praktik ini.[19] Pada masa jahiliyahapabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka wali orang yang meninggal itu lebih berhak untuk menerima waris daripada istrinya yang ditinggalkan, maka Allah menurunkan ayat ke 19 surat al-Nisa yang memberikan penjelasan tentang kedudukan seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya.[20] 
Lebih jauh lagi, al-Qur’an memberi aturan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi sebagaimana tersurat dalam Qs. Al-Nisa’: 4: 23.
Agama Islam telah banyak memecahkan problem-problem perempuan yang terjadi pada masa pra Islam. Di antaranya memberikan status atau martabat yang tinggi bagi perempuan dan mengakui hak individual mereka. Namun, kita tahu seluruh bangunan masyarakat tidak sedemikian rupa membuat laki-laki lebih bernilai, sehingga memungkinkan mereka merebut tempat utama dalam masyarakat. Bahkan dalam praktiknya, masyarakat modern belum mampu menyelesaikan kontradiksi ini. Apa yang dilakukan Al-Qur’an adalah memberikan bentuk normatif dan hukum yang pasti bagi hak-hak dan kewajiban perempuan. Al-Qur’an menerima banyak praktik yang berlaku pada masa pra-Islam, tetapi menolak praktik-praktik yang bersifat menghina, tidak bermoral dan tidak adil dari sudut pandang manusiawi.
Pada masa pra-Islam tidak ada kewenangan skriptural ataupun legal dalam hal ini. Yang ada hanya tradisi-tradisi dan praktik-praktik lama yang memberikan sanksi terhadap apa yang dilakukan atau tidak dilakukan orang. Al-Qur’an dan nabi Muhammad mengisi kekosongan kewenangan ini, melalui ajaran-ajaran ilahiyah dan sunah nabi. Sebagai tambahan atas perintah-perintah ilahi, nabi telah memberikan begitu banyak penegasan hukum untuk membuang semua praktik-praktik di atas, yang secara hukum dinyatakan tidak bersusila. Telah tiba saatnya untuk diuji kembali putusan-putusan nilai moral dalam menentukan posisi perempuan dalam syariat, dan meninggalkan putusan-putusan sosial yang sudah usang, karena perubahan-perubahan kondisi sosial yang telah terjadi.[21]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Antara gender dan sex sangat berbeda, secara umum dapat dikatakan bahwa gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dan lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Dalam hal ini, istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.
            Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Qs. Al-Zariyat ayat 56), laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi (Qs. Al-Baqarah: 30), laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial (Qs. Al-A’raf: 172), Adam dan Hawa aktif dalam drama kosmis; bukan Hawa yang mempengaruhi Adam untuk makan buah huldi melainkan sama-sama tergoda dan bertaubat kepada Allah (Qs. Al-A’raf: 20-23), laki-laki dan perempuan berpotensi untuk meraih prestasi otimal (Qs. Al-Nahl: 97). 
B.     Saran-saran
Dari pembahasan di atas, penulis menghimbau kepada pembaca dan pendengar agar mempelajari lebih dalam tentang isu gender menurut perspektif Al-Qur’an dan penafsirannya. Terakhir, kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.    
DAFTAR PUSTAKA
Echols, M., John dan Shadily, Hasan, Kamus Inggeris Indonesia (cet. I; Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983),
Neufeld, Victoria, (ed.),Webster’s New World dictionary, (New york: Webster’s
New World Cleveland, 1984),
Tierney, Helen, (Ed.), Women’s studies Encyclopedia Vol. I, (New York: Green
Wood Press),
Lips, M., Hilari M. Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto:
Mayfield Publishing Company, 1993),
Lindsey, L., Linda, Gender  Roles a Sociological Perspective, (New Jersey:
Prentice Hall, 1990),
Suhra, Sarifa, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
terhadap hukum Islam, h. 379, dalam Jurnal al-Ulum Vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, IAIN Gorontalo.

Al-Razi, Fakhr, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Haya’ al-Turats al-Arabi,
1990), Jilid XV.
Yunus, Mahmud, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), cet.
VII,
Baqi, Abdul, Fuad, Muhammad, Tafsir Tematis, (Surabaya: Halim Jaya, 2012),
Jilid 2,
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 1,
Mursyid, Hasan, Fajar, Tafsir surat at-Taubah ayat 71.
Abu Ja’far al-Thabari, Muhammad Ibn Jarir bin Yazid bin bin Ghalib al-Amali.Jami’ul bayan fi al-Ta’wilil Qur’an. Muassat al-Risalah



[1]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet. VII, h. 275.
[2]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tafsir Tematis, (Surabaya: Halim Jaya, 2012), Jilid 2, h. 164.
[3]M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 1, h. 163.
[4]Ibid
[5]Ibid, h. 164
[6]H. Fajar Hasan Mursyid, Lc, MA, Tafsir surat at-Taubah ayat 71.
[7]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, h. 275.
[8] Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati. Jakarta: 2002. Vol 2 hal
[9] Muhammad Ibn Jarir bin Yazid bin bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far al-Thabari. Jami’ul bayan fi al-Ta’wilil Qur’an. Muassat al-Risalah. 2000 . Juz 8 hal 261
[10]Tafsir Ibnu Katsir surat an-Nisa ayat 32.
[11]Lihat orang-orang yang Termasuk ahli waris dalam surat An Nisaa' ayat 11 dan 12.
[12]Khoiruddin Nasution, Fazhur Rahman tentang Perempuan, h. 89.
[13]John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (cet. I; Jakarta: gramedia, cet. XII, 1983), h. 265.
[14]Victoria Neufeld (ed.),Webster’s New World dictionary, (New york: Webster’s new World Cleveland, 1984), h. 561.
[15]Helen tierney (Ed.), Women’s studies Encyclopedia Vol. I, (New York: Green Wood Press), h. 153.153.
[16]Hilari M Lips, Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993), h. 4.
[17]Linda L. Lindsey, Gender  Roles a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2.
[18]Sarifa Suhra, Kesetaraan gender dalam perspektif Al-Qur’an dan implikasinya terhadap hukum Islam, h. 379, dalam Jurnal al-Ulum Vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, IAIN Gorontalo.
[19]Lihat al-Thabari, Jami’ al-Bayan, Vol. 4, 104
[20]Ibid, Vol. 4, 104.
[21] Ana Bilqis Fajarwati, Tafsir Gender dalam Tafsir al-Manar Tentang Asal Kejadian Perempuan, h. 50-53, dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir hadis, Volume 3, Nomor 1, Juni 2013.