KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Dalam Qs. Al-Nisa : 32 dan Qs. Al-Taubah: 71
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Tahlili
Oleh:
MUHAMMAD
AFIF (E73213134)
MOKHAMMAD
AINUL Y (E03214059)
MUHAMAD
ILYAS (E03214011)
Dosen Pengampu:
Moh. Yardho, M.Th.I
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN
FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya milik Allah swt. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang
selalu menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah.
Tulisan ini menegaskan keadilan dan kesetaraan dalam perspektif
Alquran. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan
persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan. Laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai hamba, khalifah di bumi, dan menerima perjanjian primordial.
Adam dan hawa sama-sama aktif dalam drama kosmis. Laki-laki dan perempuan
berpotensi untuk meraih prestasi optimal. Implementasi kesetaraan gender
perspektif Alquran melahirkan adanya transformasi hukum islam yang bertalian
dengan isu kesetaraan. Relasi di bidang profesi, seperti adanya hakim perempuan
serta memicu lahirnya produk hukum yang berspektif kesetaraan dan keadilan
gender.
Akhirnya, semoga risalah pendek ini bisa membukakan mata hati yang
terpejam dan menyalakan ruh untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Surabaya, 20
Nopember 2016
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penafsiran Qs. Al-Taubah: 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٧١)
Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs: al-Taubah(09):71)
Kosa Kata
اولياء: berasal dari al-waliyyu yang artinya “yang
dekat atau teman”. Perbedaan antara al-waliyyu dengan al-Nashir adalah al-waliy
terkadang kurang mampu memberi pertolongan, sedangkan al-Nashir mampu melakukan
pertolongan, dan juga mampu melakukan pertolongan, hanya terkadang yang
dilakukan oleh orang lain, bukan teman sendiri.
معروف: suatu kebaikan yang diakui kebaikannya
secara universal (semua manusia).
منكر: suatu kejahatan/kejelekan yang diakui
kejelekannya secara universal.
Tafsir Ayat:
Dalam buku Tafsir
Quran Karim karya Prof. Dr. H.Mahmud Yunus, menafsirakan bahwa orang-orang
mukmin baik laki-laki atau perempuan setengahnya menjadi pembantu yang setengah
(bimbing-membimbing), mereka menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar, menegakkan sembahyang, memberikan zakat serta mengikuti Allah dan
rasul-Nya. Maka orang-orang mukmin wajib menyuruh dengan yang makruf dan
melarang dari yang mungkar terhadap siapa yang tidak menurut jalan kebenaran,
meskipun pemerintah sendiri. Kezaliman-kezaliman yang dibuat orang dalam
negeri, wajib kaum muslimin memberantasnya dan menghilangkan sekedar tenaga
masing-masing. Orang-orang surat kabar dengan tulisannya, anggota-anggota dewan
perwakilan dengan pembicaraannya dalam sidang-sidang dewan, ulama-ulama dengan
perkataan dan fatwanya dan begitulah seterusnya, sehingga tiap-tiap orang Islam
bertanggung jawab terhadap kezaliman yang diperbuat orang dalam negerinya.
Apabila yang demikian tidak dilaksanakan oleh kaum muslimin, maka Allah akan
mendatangkan siksa, bukan saja kepada orang-orang yang berbuat kezaliman itu,
melainkan keseluruhan penduduk negeri ini.[1]
Dalam buku Tafsir Tematis karya Muhammad Fuad Abdul Baqi jilid 2
menafsirkan ayat di atas bahwa sebagian kaum mukminin, baik laki-laki maupun
perempuan adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka saling menyokong
karena kesamaan agama dan keimanan kepada Allah. Mereka menyuruh yang makruf
(segala amal saleh yang diperintahkan syariat, seperti tauhid dan ibadah),
mencegah yang mungkar (segala ucapan dan perbuatan yang dilarang syariat, seperti
kezaliman dan kenistaan), mengerjakan shalat fardhu tepat waktu, membayar zakat
wajib, menanti perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya. Mereka yang
memiliki sifat demikian pasti dirahmati Allah (sebagaimana janji-Nya) dengan
kenikmatan surga. Allah Maha Kuat, tiada sesuatu yang bisa melemahkan-Nya, Maha
Bijaksana dalam semua ketentuan-Nya. Dia tidak meletakkan sesuatu, kecuali pada
tempatnya.[2]
Sedangkan dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab bahwa ayat
tersebut menjelaskan tentang keadaan kaum munafikin dan ancaman siksa yang
menanti mereka, kini sebagaimana kebiasaan Al-Qur’an menggandengkan uraian
dengan sesuatu yang sejalan dengan uraian yang lalu atau bertolak belakang
dengannya, melalui ayat-ayat ini Allah menguraikan keadaan orang munafik. Sekaligus
sebagai dorongan kepada orang-orang munafik dan selain mereka agar tertarik
mengubah sifat buruk mereka.[3]
Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti
kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka Dan orang-orang mukmin yang mantap
imannya dan terbukti kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati
mereka dan senasib serta sepenanggungan mereka sehingga sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain dalam segala urusan dan kebutuhan mereka.
Bukti kemantapan iman mereka adalah mereka menyuruh melakukan yang makruf,
mencegah perbuatan yang mungkar, melaksanakan shalat dengan khusuk dan
bersinambung, menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah
dan rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti akan dirahmati
Allah dengan rahmat khusus, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa tidak dapat
dikalahkan atau dibatalkan kehendak-Nya oleh siapapun lagi Maha bijaksana dalam
semua ketetapan-Nya.[4]
Firman-Nya (او لباء بعض بعضه) sebagian mereka adalah penolong sebagian
yang lain berbeda redaksinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang
munafik. Huruf sin pada sayarhamuhum akan merahmati mereka digunakan antara
lain dalam arti kepastian datangnya rahmat itu. Kata ini dihadapkan dengan
Allah melupakan mereka yang ditujukan kepada orang-orang munafik. Rahmat yang
dimaksud di sini bukan hanya rahmat di akhirat, tetapi sebelumnya adalah rahmat
di dunia, baik buat setiap orang mukmin maupun untuk kelompok mereka. Rahmat
tersebut ditemukan antara lain pada kenikmatan berhubungan dengan Allah swt dan
pada ketenangan batin yang dihasilkannya. Juga pada pemeliharaan dari segala
bencana, persatuan dan kesatuan serta kesediaan setiap anggota masyarakat
muslim untuk berkorban demi saudaranya, ini antara lain yang diraih di dunia.
Adapun di akhirat, tiada kata yang dapat menguraikannya, seperti yang
disampaikan rasul Saw bahwa di akhirat ada anugerah yang tidak pernah dilihat
sebelumnya oleh mata, tidak terdengar beritanya oleh telinga dan tidak juga
pernah terlintas dalam benak manusia.[5]
Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian
dari mereka adalah penolong dan pembantu bagi sebagian yang lain. Mereka satu
dengan yang lain bertolong-menolong, bantu-membantu baik dalam masa damai
ataupun masa perang mereka satu dengan yang lain bersaudara dan berkasih sayang
. orang mukmin saling menolong dalam kesulitan ataupun lapang. Berbeda
redaksinya dengan redaksi ayat 67 dari surat ini yang menceritakan keadaan
orang munafik. Ba’dhuhum min ba’dh, sebagian mereka dari sebagian yang
lain. Perbedaan ini menurut al-Biqai untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukmin
tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya karena setiap orang telah mantap
imannya atas dalil yang pasti bukan berdasarkan taklid. Sejalan dengan
pandangan ini Thahir ibn Asyur menulis dalam tafsirnya yang menghimpun
orang-orang mukmin adalah keimanan yang mantap bukan taklid.[6]
Mereka itu adalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah dan
dimasukkan ke dalam rahmat-Nya yang luas. Allah itu maha keras tuntutannya dan
tidak ada yang mampu menghalangi tuntutannya. Selain itu Allah maha hakim dalam
segala perbuatannya, yang senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Munasabah Ayat:
أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ
وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ
فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (٧٠)
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang
yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk
Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah?. telah datang kepada mereka
Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah
sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri
mereka sendiri.(Qs. Al-Taubah: 70).
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan,
(akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan
Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Qs. Al-Taubah:
72).
Analisa Penafsiran:
Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat
dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki
untuk berperan dalam wilayah publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam
wilayah domestik. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir
Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah Qs. Al-Taubah: 71.
Secara umum, ayat
di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara
laki-laki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan
kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”.pengertian
kata auliya mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan pengertian
yang terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala
segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasehat atau kritik
kepada penguasa, sehingga setiap laki-laki dan perempuan muslim hendaknya
mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi
saran atau nasehat untuk berbagai bidang kehidupan.[7]
B.
Penafsiran Qs. Al-Nisa: 32
وَلا تَتَمَنَّوْا
مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ
فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)
Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Kosa Kata:
تَتَمَنَّوْا: Iri hati
لِلرِّجَالِ : Bagi orang
laki-laki
لِلنِّسَاءِ : Bagi orang
perempuan
نَصِيبٌ : Sebahagian
sesuatu yang bagikan misalnya harta waris
(اكتسبوا) iktasabu dan (اكتسبن) iktasabna yang di artikan di atas dengan
yang mereka usahakan terambil dari kata kasaba. Penambahan huruf ta pada kata
itu sehingga menjadi (اكتسبوا) dalam berbagai bentuknya menunjuk adanya
kesungguhan serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan
sesuatu dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh.[8]
Tafsir Ayat:
Dari berbagai penafsiran mengatakan bahwa mengapa seorang di
bagiakan harta sebagian dari seorang laki-laki karena seorang perempuan pada
waktu itu tidak bekenaan mengikuti peperangan. Seorang perempuan berkata
seandainya saya seorang laki-laki niscaya kami akan beperang dan menyampaikan
perilaku seperti hal nya seorang laki-laki.[9]
Oleh karena itu sebagian mufassir menanggapi pertanyaan seorang
perempuan yang di tanyakan kepada Nabi Muhammad Saw dengan surat al-Imran ayat
195 yang berbunyi:
. . . فَاسْتَجَابَ لَهُمْ
رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى . . . .
. . .Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan. . . .
Jadi jika dari sisi keimanan dan pahala itu tidak memandang jenis
kelamin semua itu kembali manusia itu sendiri hanya saja laki-laki mendapat
bagian lebih karena iamempunyai tenaga lebih untuk mengerjakan sesuatu yang di
kerjakan.
Asbabun Nuzul:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, Ummu Salamah
berkata: Wahai rasulullah, kaum laki-laki dapat ikut serta berperang, sedangkan
kami tidak di ikutsertakan berperang dan hanya mendapat setengah bagian
warisan. Maka Allah menurunkan: wala tamannau ma fadl-dlala Allahu bihi
ba’dlakum ala ba’dhin (dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagiaan lebih banyak dari sebahagian yang lain).
Hr. At-Tirmidzi.
Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari ibnu Abbas tentang ayat ini,
ia berkata: Hendaklah laki-laki tidak berkhayal, dan ia berkata: seandainya aku
memiliki harta si fulan dan keluarganya, maka Allah melarang hal itu, akan
tetapi (hendaklah) ia memohon kepada Allah SWT dari karunia-nya. Al-Hasan,
Muhammad bin Sirin, Atha’ dan adh-Dhahhak juga berkata demikian. Itulah makna
yang tampak dari ayat ini. Hal ini tidak menolak hadits yang terdapat dalam
hadits shahih: Tidak boleh iri hati, kecuali dalam dua hal; (diantaranya)
terhadap seseorang yang diberikan harta oleh Allah, lalu dihabiskan
penggunaannya dalam kebenaran, lalu seseorang berkata: seandainya aku memiliki
harta seperti si fulan, niscaya aku akan beramal sepertinya. Maka pahala
keduanya adalah sama.
Sesungguhnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh ayat.
Di mana hadits itu menganjurkan untuk berharap mendapatkan nikmat seperti yang
dimiliki oleh orang itu, sedangkan ayat tersebut melarang berharap mendapatkan
pengkhususan nikmat tersebut.
Allah berfirman: wa la tamannau ma fadl-dlala Allahu bihi ba’dlakum
ala ba’dhin (dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagiaan lebih banyak dari sebahagian yang lain). Yaitu dalam
perkara dunia dan agama berdasarkan hadits Ummu Salamah dn Ibnu Abbas. Demikian
pula, ibnu Abi Rabah berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan larangan iri
hati terhadap apa yang dimiliki seseorang, dan juga iri hati wanita untuk
menjadi laki-laki, lalu mereka akan berperang.” HR. Ibnu Jarir.
Kemudian firman-Nya: Lir rijali nashibun mimaktasabu wa lin nisa’i
nashibun mimmaktasabn (karena bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan) yaitu masing-masing mendapatkan pahala sesuai dengan amal yang
dilakukannya. Jika amalnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan dan jika
amalnya jelek maka balasannya adalah kejelekan pula. Inilah pendapat ibn Jarir.
Kemudian Allah mengarahkan mereka pada sesuatu yang memberikan
maslahat (kebaikan) bagi mereka dengan firman-Nya: was alul Allaha min fadl
lihi (dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya). Janganlah
kalian iri hati terhadap apa yang telah kami karuniakan kepada sebagian kalian,
karena hal ini merupakan suatu keputusan. Dalam arti bahwa iri hati tidak merubah
sesuatu apapun. Akan tetap mohonlah kalian kepada-Ku sebagian dari karunia-Ku,
niscaya Aku akan berikan pada kalian. Sesungguhnya Aku Maha Pemurah lagi Maha
Pemberi.
Kemudian Allah berfirman: Inna Allaha kana bikulli syai in
aliman (sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu) yaitu, Allah
Maha Mengetahui siapa yang berhak memperoleh dunia maka Dia akan memberikan
kepadanya, siapa yang berhak faqir maka dia akan menfakirkannya. Dan Allah pun
Maha Mengetahui siapa yang berhak memperoleh akhirat, maka Dia akan memantapkannya
terhadap amalnya dan terhadap orang yang berhak mendapat kehinaan maka Dia pun
akan menghinakannya sehingga ia tidak dapat menjalankan kebaikan dan
saran-sarannya.
Untuk itu, Allah berfirman: inna Allaha kana bi kulli syai in
aliman (sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu).[10]
Munasabah Ayat:
إِنْ
تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا (٣١)
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar
di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga). (Qs. Al-Nisa: 31).
Bagi tiap-tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya.[11]
dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu. (Qs. Al-Nisa: 33).
Analisa Penafsiran:
Ajaran Al-Qur’an tentang perempuan umumnya merupakan bagian dari
usaha Al-Qur’an untuk menguatkan dan memperbaiki posisi sebagian atau kelompok
lemah dalam kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Yang menjadi tujuan pokok Al-Qur’an
tentang perempuan adalah menghilangkan bagian-bagian yang memperlakukan
perempuan secara kejam.[12]
Islam memberi perempuan sejumlah hak, menugasinya dengan sejumlah kewajiban,
memberinya kesempatan untuk beribadah dan tugas-tugas syariat lainnya. Secara
umum Qs. Al-Nisa: 32 menunjukkan hak-hak perempuan.
Adapun hak-hak perempuan antara lain:
1.
Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
2.
Hak dan kewajiban belajar
3.
Hak-hak dalam bidang politik
4.
Hak-hak perempuan sebagai istri
Sedang kewajiban seorang perempuan menurut ajaran agama islam
adalah sebagai berikut:
1.
Peranan istri dalam rumah tangga
2.
Pekerjaan perempuan di dalam rumah
C.
Hakikat Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.[13]
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[14]
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.[15]
Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).[16]
Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang
menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai
laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given
society defines as masculine or feminin is a component of gender).[17]
Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian
relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih
dari itu al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos
(manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwaj)
dalam Al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS.
Al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan Qs. Thaha 53. Bahkan kalangan sufi menganggap
makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan. Langit diumpamakan dengan suami yang
menyimpan air Qs. Al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan isteri yang menerima
limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS.
Al-Thariq: 12. Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq
Yang Maha Esa Qs. Al-Ikhlas: 14.
Secara umum tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distintion)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination)
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut
dimaksudkan untuk mendukung obsesi Al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan
harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawadah wa rahmah) di
lingkungan keluarga QS. al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas
ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur) Qs. Saba: 15.
al-Qur’an juga berobsesi untuk mengalihkan pola hidup yang bercorak
kesukuan (tribalism) yang rawan terhadap berbagai ketegangan dan
kezaliman, menuju ke pola hidup ummah, seperti disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah:
213 artinya sebagai berikut:
“Manusia itu adalah umat yang satu.
(setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah
berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Pola hidup ummah adalah pola hidup yang lebih mendunia dan
lebih menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Dalam pola kesukuan, promosi
karier hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan perempuan sulit sekali
memperoleh kesempatan itu. Dalam pola hidup ummah, laki-laki dan perempuan
terbuka peluang untuk memperoleh kesempatan itu secara adil.[18]
D.
Surat al-Nisa’ dan Diskursus Perempuan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri
dibandingkan dengan kitab-kitab suci pendahulunya, baik dari segi struktur redaksi
yang digunakan maupun dari makna eksplisit dan implisit yang terkandung di
dalamnya.
Salah satu tema yang yang dijelaskna dalam al-Qur’an adalah
permasalahan perempuan. Ia menyajikan topik perempuan dalam banyak ayat dalam
berbagai surat. Namun yang paling banyak adalah dalam Qs. Al-Nisa’, sehingga ia
sering dinamakan al-Nisa’ al-Kubra. Penamaan ini untuk membedakannya
dengan surat lain yang juga menyajikan sebagian masalah perempuan, yaitu surat
al-Thalaq yang sering dinamakan sebagai al-Nisa’ al-Shughra.
Surat al-Nisa’ yang terdiri dari 176 ayat adalah surat terpanjang
sesudah surat al-Baqarah. Dinamakan al-Nisa yang berarti “perempuan-perempuan”,
boleh jadi karena pada ayat pertama telah disebut kata al-Nisa’ dan boleh jadi
karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan
perempuan.
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا (١)
Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Surat al-Nisa sebagaimana surat-surat lain yang diturunkan di
Madinah, mengandung banyak peraturan hidup dan undang-undang terutama soal
pembagian warisan (faraid), tetang hukum nikah, dan siapa-siapa saja
dari perempuan yang haram dinikahi atau sering disebut sebagai maharim al-Nikah,
apa kewajiban laki-laki terhadap perempuan, dan apa kewajiban perempuan
terhadap laki-laki. Selain itu, surat al-Nisa’ juga membicarakan masalah anak
yatim, tentang kebolehan seorang laki-laki beristri lebih dari satu, bahkan
sampai empat. Di dalamnya juga diterangkan tentang penyelesaian kemelut dalam
pergaulan suami istri, yang bisa saja terjadi, lalu ditunjukkan cara
penyelesaiannya, dan menjelaskan tentang pegangan hidup setelah berumah tangga.
Untuk memahami konteks historis surat al-Nisa’, terlebih dahulu
diperlukan peahaman mendalam terhadap kondisi sosial-budaya bangsa Arab ketika
itu. Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an, seperti ayat-ayat tentang perempuan
dapat disalahpahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat
Arab. Status perempuan dalam Islam dapat dipahami secara benar hanya apabila
diketahui status mereka pada zaman Jahiliyah. Alasannya jelas, karena tidak ada
revolusi politik atau sosio keagamaan yang dapat menghapus semua jejak masa
lalu. Kontinuitas senantiasa ada dan inilah yang memelihara pertautan organis
dengan masa lalu. Pemutusan ikatan secara total dengan masa lalu, meskipun
diusahakan, tidak akan berhasil. Sebagaimana diketahui, berbagai perlakuan
terhadap perempuan yang berlaku pada masa pra Islam yang telah diperbarui, atau
dilarang oleh revolusi Islam, kembali muncul di dalam syariat Islam melalui
adat (praktek-praktek masyarakat Arab pra Islam).
Pada masa
pra-Islam, perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih
baik dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat
diwariskan sebagaimana harta benda.dalam surat al-Nisa’ ayat 19, dengan tegas
Allah melarang praktik ini.[19]
Pada masa jahiliyahapabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka wali orang
yang meninggal itu lebih berhak untuk menerima waris daripada istrinya yang
ditinggalkan, maka Allah menurunkan ayat ke 19 surat al-Nisa yang memberikan
penjelasan tentang kedudukan seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya.[20]
Lebih jauh lagi, al-Qur’an memberi aturan tentang wanita-wanita
yang tidak boleh dinikahi sebagaimana tersurat dalam Qs. Al-Nisa’: 4: 23.
Agama Islam telah banyak memecahkan problem-problem perempuan yang
terjadi pada masa pra Islam. Di antaranya memberikan status atau martabat yang
tinggi bagi perempuan dan mengakui hak individual mereka. Namun, kita tahu
seluruh bangunan masyarakat tidak sedemikian rupa membuat laki-laki lebih
bernilai, sehingga memungkinkan mereka merebut tempat utama dalam masyarakat.
Bahkan dalam praktiknya, masyarakat modern belum mampu menyelesaikan
kontradiksi ini. Apa yang dilakukan Al-Qur’an adalah memberikan bentuk normatif
dan hukum yang pasti bagi hak-hak dan kewajiban perempuan. Al-Qur’an menerima
banyak praktik yang berlaku pada masa pra-Islam, tetapi menolak praktik-praktik
yang bersifat menghina, tidak bermoral dan tidak adil dari sudut pandang
manusiawi.
Pada masa pra-Islam tidak ada kewenangan skriptural ataupun legal
dalam hal ini. Yang ada hanya tradisi-tradisi dan praktik-praktik lama yang
memberikan sanksi terhadap apa yang dilakukan atau tidak dilakukan orang. Al-Qur’an
dan nabi Muhammad mengisi kekosongan kewenangan ini, melalui ajaran-ajaran
ilahiyah dan sunah nabi. Sebagai tambahan atas perintah-perintah ilahi, nabi
telah memberikan begitu banyak penegasan hukum untuk membuang semua
praktik-praktik di atas, yang secara hukum dinyatakan tidak bersusila. Telah
tiba saatnya untuk diuji kembali putusan-putusan nilai moral dalam menentukan
posisi perempuan dalam syariat, dan meninggalkan putusan-putusan sosial yang
sudah usang, karena perubahan-perubahan kondisi sosial yang telah terjadi.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk
rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati. Antara gender dan sex sangat berbeda, secara umum dapat
dikatakan bahwa gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dan lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya,
psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya, maka sex secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologi. Dalam hal ini, istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.
Islam sebagai
agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung
prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai
hamba (Qs. Al-Zariyat ayat 56), laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di
bumi (Qs. Al-Baqarah: 30), laki-laki dan perempuan menerima perjanjian
primordial (Qs. Al-A’raf: 172), Adam dan Hawa aktif dalam drama kosmis; bukan Hawa
yang mempengaruhi Adam untuk makan buah huldi melainkan sama-sama tergoda dan
bertaubat kepada Allah (Qs. Al-A’raf: 20-23), laki-laki dan perempuan
berpotensi untuk meraih prestasi otimal (Qs. Al-Nahl: 97).
B.
Saran-saran
Dari pembahasan di atas, penulis menghimbau kepada pembaca dan
pendengar agar mempelajari lebih dalam tentang isu gender menurut perspektif Al-Qur’an
dan penafsirannya. Terakhir, kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang
budiman sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Echols,
M., John dan Shadily, Hasan, Kamus Inggeris Indonesia (cet. I; Jakarta:
Gramedia, cet.
XII, 1983),
Neufeld,
Victoria, (ed.),Webster’s New World dictionary, (New york: Webster’s
New World
Cleveland, 1984),
Tierney,
Helen, (Ed.), Women’s studies Encyclopedia Vol. I, (New York: Green
Wood Press),
Lips,
M., Hilari M. Sex & Gender an Introduction (California,
London, Toronto:
Mayfield
Publishing Company, 1993),
Lindsey,
L., Linda, Gender Roles a
Sociological Perspective, (New Jersey:
Prentice Hall,
1990),
Suhra,
Sarifa, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
terhadap hukum Islam, h. 379, dalam Jurnal
al-Ulum Vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, IAIN Gorontalo.
Al-Razi,
Fakhr, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Haya’ al-Turats al-Arabi,
1990), Jilid
XV.
Yunus, Mahmud, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), cet.
VII,
Baqi, Abdul, Fuad, Muhammad, Tafsir Tematis, (Surabaya: Halim Jaya, 2012),
Jilid 2,
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 1,
Mursyid, Hasan, Fajar, Tafsir surat at-Taubah ayat
71.
Abu Ja’far al-Thabari, Muhammad Ibn Jarir bin Yazid bin bin Ghalib
al-Amali.Jami’ul bayan fi al-Ta’wilil Qur’an. Muassat al-Risalah
[1]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 2004), Cet. VII, h. 275.
[2]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tafsir Tematis,
(Surabaya: Halim Jaya, 2012), Jilid 2, h. 164.
[4]Ibid
[6]H. Fajar Hasan
Mursyid, Lc, MA, Tafsir surat at-Taubah ayat 71.
[7]M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, h. 275.
[8] Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an.
Lentera Hati. Jakarta: 2002. Vol 2 hal
[9] Muhammad Ibn Jarir bin Yazid bin bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far
al-Thabari. Jami’ul bayan fi al-Ta’wilil Qur’an. Muassat al-Risalah.
2000 . Juz 8 hal 261
[12]Khoiruddin
Nasution, Fazhur Rahman tentang Perempuan, h. 89.
[13]John M. Echols
dan Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (cet. I; Jakarta: gramedia,
cet. XII, 1983), h. 265.
[14]Victoria
Neufeld (ed.),Webster’s New World dictionary, (New york: Webster’s new
World Cleveland, 1984), h. 561.
[15]Helen tierney
(Ed.), Women’s studies Encyclopedia Vol. I, (New York: Green Wood Press),
h. 153.153.
[16]Hilari M Lips, Sex
& Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield
Publishing Company, 1993), h. 4.
[17]Linda L.
Lindsey, Gender Roles a Sociological
Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2.
[18]Sarifa Suhra, Kesetaraan
gender dalam perspektif Al-Qur’an dan implikasinya terhadap hukum Islam, h.
379, dalam Jurnal al-Ulum Vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, IAIN Gorontalo.
[19]Lihat
al-Thabari, Jami’ al-Bayan, Vol. 4, 104
[21] Ana Bilqis Fajarwati, Tafsir Gender dalam Tafsir al-Manar
Tentang Asal Kejadian Perempuan, h. 50-53, dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan
Tafsir hadis, Volume 3, Nomor 1, Juni 2013.